Nasakh, Nasikh dan Mansukh

Pendahuluan

Al-Qur’an sebagai poros utama sumber hukum Islam merupakan kitab suci yang didalamnya termuat dua bentuk tatanan hubungan universal, vertikal (hubungan manusia dengan Allah) dan horizontal (hubungan manusia dengan manusia dan alam semesta). Lebih dari 80 persen kandungan al-Qur’an secara teoritis membahas tentang permasalahan sosial yang mencakup perdata, mu’amalah, pidana dan berbagai tata aturan hubungan manusia dengan alam sekitar. Selebihnya al-Qur’an membahas yang berkenaan dengan akhirat, yaitu kepatuhan penuh (‘ubudiyah).
Setelah al-Qur’an ada al-hadits yang juga memiliki peran signifikan dalam perumusan hukum Islam. Di samping sekaligus sebagai sumber hukum kedua setelah al-Qur’an, al-hadits juga berperan sebagai “penerjemah” bahasa al-Qur’an. Karena al-hadits muncul dari prototype kesempurnaan manusia yaitu Muhammad saw. yang membawa risalah Islam yang mana sabda beliau bukan berasal dari nafsu humani, melainkan wahyu dari Allah swt.
Al-Qur’an sebagai dasar utama pijakan hukum Islam, sarat akan wahana keilmuan yang teramat luas, yang hingga sampai saat ini, kajian keilmuan tentang al-Quran masih terus berlanjut. Dan hingga akhir zaman, baik pembahasan maupun kritikan terhadap al-Qur’an tidak akan pernah berhenti. Nasakh, nasikh dan mansukh, termasuk salah satu kajian keilmuan Islam yang sering diperdebatkan tentang keberadaannya dalam al-Qur’an.
Dalam tulisan ini, sedikit akan dipaparkan beberapa pembahasan seputar nasakh, nasikh dan mansukh, meliputi; pengertian, syarat dan obyek, pembagian, pro-kontra ulama seputar nasikh-mansukh, dan hikmah nasikh-mansukh. Dan pada akhir tulisan ini sedikit dipaparkan tentang contoh analisis tentang keberadaan nasikh-mansukh.
  

Pengertian Nasakh, Nasikh dan Mansukh

Nasakh atau naskh dalam teks Arab, secara harfiah berarti penghapusan (ar-raf'u/al-izalah), penyalinan atau penukilan (an-naqlu)[1], penggantian (al-ibdal/at-tabdil), penghilangan atau dan pembatalan (al-ibthal)[2], dan pemindahan (at-tahwil)[3].
Adapun nasakh dalam terminologi, sebagaimana yang diformulasikan oleh Muhammad Abdul Adzim az-Zarqoni dalam bukunya Manahilul Irfan (2003:367) berarti penghapusan hukum syar'i berdasarkan dalil syar'i (raf'ul hukmi asy-syar'iyyi bidalilin syar'iyyin).
Sedangkan menurut pandangan Abu Zahrah yang mereferensikan kalangan ushuliyyin, mendefinisikan naskh dengan raf'ul syari'i hukman syar'iyyan bidalilin muta'akhkhirin (penghapusan hukum syar'i oleh Syari' [Allah swt.] dengan dalil [syar'i] yang datang kemudian)[4].
Dari sini dapat dipahami bahwa nasakh berarti penghapusan/pembatalan hukum syar'i yang lama dengan hukum syar'i yang baru berdasarkan dalil syar'i yang datang kemudian. Dalam proses nasakh yang terjadi jelas akan memunculkan dua aspek, yaitu subyek penghapus (dalil hukum yang menghapus yang kemudian dikenal dengan istilah nasikh), obyek penghapusan (dalil hukum yang dihapus yang kemudian dikenal dengan mansukh).
Dan dari pengertian nasakh di atas dapat dipahami juga bahwa dalil nasikh datang lebih akhir dibandingkan dengan dalil mansukh, dan hukum yang terdapat dalam dalil nasikh dan dalil mansukh terdapat kontradiksi hukum yang keduanya tidak mungkin untuk digunakan secara bersamaan[5].

Syarat dan Obyek Nasakh

Az-Zarqoni menyebutkan bahwa ada empat syarat dalam nasakh:
1.      Hukum yang di-nasakh adalah hukum syar'i.
2.      Dalil hukum syar'i yang me-nasakh juga berupa hukum syar’i.
3.      Dalil hukum syar’i yang me-nasakh datang lebih akhir daripada dalil hukum syar'i yang di-nasakh, serta tidak di-ta’qit (dibatasi waktu/temporal).
4.      Antara dalil nasikh dan dalil mansukh terdapat kontradiksi hukum.[6]
Manna' al-Qoththon juga memaparkan bahwa obyek atau sasaran nasakh adalah ayat yang berisikan amar (perintah) dan nahi (larangan) baik bersifat shorih (transparan) maupun ayat yang berupa kalimat berita (khobar) yang menyimpan makna amar dan nahi[7].

Pembagian Nasakh

Jika ditinjau dari terjadinya nasakh antara al-Qur'an dan sunnah, maka nasakh terbagi menjadi:
1.      Nasakh al-Qur’an dengan al-Qur’an. Nasakh jenis ini oleh beberapa ulama disepakati keberadaannya dalam al-Qur'an. Seperti dinasakhnya ayat 'iddah yang semula satu tahun (haul) (QS. al-Baqoroh:240) menjadi empat bulan sepuluh hari (QS. al-Baqoroh:234).
2.      Nasakh al-Qur’an dengan hadits, yang kemudian terbagi menjadi 2 bentuk:
a.       Nasakh al-Qur’an dengan sunnah ahad, yang oleh jumhur ulama’ ditolak keabsahannya.
b.      Nasakh al-Qur’an dengan sunnah yang mutawatiroh. Imam Malik, Abu Hanifah dan Ahmad memperbolehkan nasakh jenis ini dengan argumen bahwa sunnah juga merupakan wahyu. Sedangkan Imam Syafi’i, dan kalangan Dhohiriyah, bahkan menurut suatu riwayat Imam Ahmad juga menentang keberadaan nasakh jenis ini, mereka berargumen bahwa kedudukan sunnah tidaklah lebih baik daripada al-Qur’an.
3.      Nasakh sunnah dengan al-Qur’an. Seperti arah kiblat (yang telah ditetapkan oleh hadits) yang semula ke Baitul Maqdis, kemudian di-nasakh dengan QS. al-Baqoroh ayat 144.
4.      Nasakh sunnah dengan sunnah, yang kemudian terbagi menjadi 4 macam, yaitu; 1) nasakh mutawatir dengan mutawatir, 2) nasakh ahad dengan ahad, 3) nasakh ahad dengan mutawatir, dan 4) nasakh mutawatir dengan ahad (akan tetapi Jumhur ulama tidak memperbolehkannya).[8]
Jika ditinjau dari segi terjadinya nasakh dalam al-Qur'an sendiri, maka nasakh terbagi menjadi:
1.      Nasakh bacaan dan hukumnya, sebagaimana hadits Aisyah ra. tentang ayat al-Qur’an yang menjelaskan jumlah susuan (rodho’) yang semula 10 susuan kemudian dinasakh menjadi 5 susuan.
كان فيما أنزل عشر رضعات معلومة، فنسخن بخمس معلومات، فتوفي رسول الله صلى الله عليه وسلم، وهن مما يقرأ من القرآن، رواه الشيخان.
2.      Nasakh hukum dan menetapkan bacaannya. Seperti dinasakhnya hukum ayat ‘iddah selama satu tahun (haul), dan menetapkan bacaannya. Bentuk nasakh ini dalam al-Qur’an sangat sedikit. Diantaranya tentang dinasakhnya arah kiblat yang semula Masjidil Aqsho ke arah Masjidil Haram.
QS. al-Baqoroh ayat 115:
وَلِلّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ فَأَيْنَمَا تُوَلُّواْ فَثَمَّ وَجْهُ اللّهِ إِنَّ اللّهَ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
QS. al-Baqoroh ayat 144:
قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاء فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنتُمْ فَوَلُّواْ وُجُوِهَكُمْ شَطْرَهُ وَإِنَّ الَّذِينَ أُوْتُواْ الْكِتَابَ لَيَعْلَمُونَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِن رَّبِّهِمْ وَمَا اللّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا يَعْمَلُونَ
3.      Nasakh bacaan dan menetapkan hukumnya. Bentuk nasakh ini cukup banyak. Diantaranya:
الشيخ والشيخة إذا زنيا فارجموهما البتة نكالا من الله والله عزيز حكيم [9]
Sedangkan pembagian nasikh-mansukh jika ditinjau dari ada tidaknya nasakh dalam surat-surat al-Qur’an terbagi menjadi:
1.      Surat yang tidak terdapat nasikh-mansukh didalamnya. Yang berjumlah 43 surat, yaitu surat al-Fatihah, Yusuf, Yasin, al-Hujurot, ar-Rohman, al-Hadid, ash-Shof, al-Jum’ah, at-Tahrim, al-Mulk, al-Haaqqoh, Nuh, al-Jin, al-Mursilat, ‘Amma, an-Nazi’at, al-Infithor dan tiga surat sesudahnya, al-Fajr dan seterusnya sampai akhir al-Qur’an kecuali surat al-‘Ashr dan al-Kafirun.
2.      Surat yang terdapat nasikh-mansukh didalamnya. Yang berjumlah 25 surat, yaitu surat al-Baqoroh dan tiga surat sesudahnya, al-Hajj, an-Nur dan surat sesudahnya, al-Ahzab, Saba’, al-Mukmin, asy-Syuro, adz-Dzariyat, ath-Thur, al-Waqi’ah, al-Mujadalah, al-Muzammil, al-Muddatsir, surat Kuwwirot, dan al-‘Ashr.
3.      Surat yang didalamnya hanya terdapat dalil nasikh saja. Yang berjumlah 6 surat, yaitu surat al-Fath, al-Hasyr, al-Munafiqun, at-Taghabun, ath-Tholaq, al-A’la.
4.      Surat yang didalamnya hanya terdapat dalil mansukh saja. Yang berjumlah 40 surat selain surat-surat yang telah disebutkan di atas.[10]

Pro Kontra Ulama Seputar Nasakh

Dalam masalah nasakh para ulama berbeda pendapat apakah nasakh itu ada atau tidak. Jumhur ulama berpendapat bahwa nasakh menurut logika boleh saja dan secara syara’ telah terjadi.
Alasan Jumhur ulama adalah:
1.      Surat al-Baqoroh ayat 106:
مَا نَنسَخْ مِنْ آيَةٍ أَوْ نُنسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مِّنْهَا أَوْ مِثْلِهَا أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللّهَ عَلَىَ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tiadakah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?
2.      Surat ar-Ra’du ayat 39:
يَمْحُو اللّهُ مَا يَشَاءُ وَيُثْبِتُ وَعِندَهُ أُمُّ الْكِتَابِ
Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan di sisi-Nya-lah terdapat Umul Kitab (Lohmahfudz)
3.      Surat an-Nahl ayat 101:
وَإِذَا بَدَّلْنَا آيَةً مَّكَانَ آيَةٍ وَاللّهُ أَعْلَمُ بِمَا يُنَزِّلُ قَالُواْ إِنَّمَا أَنتَ مُفْتَرٍ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لاَ يَعْلَمُونَ
Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata: ‘Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-adakan saja’. Bahkan kebanyakan mereka tiada mengetahui”.
Jumhur ulama juga beralasan dengan kesepakatan para ulama dalam menyatakan bahwa syari’at sebelum Islam telah dinasakhkan oleh syara’ Islam. Demikian juga telah terjadi nasakh dalam beberapa hukum Islam, seperti: pemalingan Kiblat dari Baitul Maqdis ke Masjidil Haram (al-Baqoroh:144).
Akan tetapi, Abu Muslim al-Isfahani (259-322 H./Mufassir), berpendapat bahwa nasakh tidak berlaku dalam syari’at Islam dan tidak ada bukti yang menunjukkan adanya nasakh itu. Menurutnya apabila hukum-hukum syara’ boleh dinasakhkan, maka ini berarti terdapat perbedaan kemaslahatan sesuai dengan pergantian zaman. Hal ini akan membawa akibat bolehnya seseorang mengubah keimanannya, karena tuntutan zaman. Hal ini menurutnya sama sekali tidak mungkin dan tidak diterima akal. Kemudian apabila nasakh diterima, maka hal ini menunjukkan ketidaktahuan Allah terhadap kemaslahatan umat di suatu zaman, sehingga Ia harus mengganti sesuatu hukum dengan hukum yang lain. Perbuatan itu mustahil bagi Allah dan sia-sia.
Firman Allah swt. dalam surat Fushshilat ayat 42:
لَا يَأْتِيهِ الْبَاطِلُ مِن بَيْنِ يَدَيْهِ وَلَا مِنْ خَلْفِهِ تَنزِيلٌ مِّنْ حَكِيمٍ حَمِيدٍ
Yang tidak datang kepadanya (al-Qur’an) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Tuhan Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji”.
Ayat ini menurutnya menegaskan bahwa al-Qur’an tidak disentuh oleh pembatalan. Dengan demikian, jika nasakh diartikan sebagai pembatalan, maka tidak akan terdapat dalam al-Qur’an.
Muhammad Abduh (1265-1323 H./1849-1905) sebagai mufassir dan tokoh pembaharu dari Mesir, setelah menganalisis ayat-ayat yang mengandung nasakh yang dikemukakan jumhur ulama di atas, berpendapat bahwa nasakh lebih tepat diartikan sebagai penggantian, pengalihan (pemindahan) ayat hukum di tempat ayat hukum lainnya. Oleh sebab itu, nasakh berarti penggantian atau pemindahan satu wadah ke wadah yang lain.
Dengan demikian, menurut M. Quraish Shihab, mufassir Indonesia, pengertian ini akan membawa kepada kesimpulan bahwa semua ayat-ayat al-Qur’an tetap berlaku, tidak ada yang kontradiktif, hanya saja terjadi pergantian hukum bagi masyarakat (orang tertentu), karena adanya kondisi yang berbeda. Namun ayat hukum yang tidak berlaku lagi bagi masyarakat (orang lain) yang kondisinya sama dengan kondisi ketika hukum ayat-ayat yang diganti itu berlaku.[11]

Nasakh Antar Agama (al-Bada’)

Pengertian harfiah dari kata nasakh di atas pada satu sisi tampak mengisyaratkan ruang lingkup obyek (kajian) nasikh-mansukh yang cukup luas di satu pihak, dan sejarah panjang nasikh-mansukh di pihak lain. Memiliki ruang lingkup yang luas, ketika nasikh-mansukh tidak semata-mata dipahami dalam konteks internal ajaran Islam, akan tetapi juga merambah pada pendekatan eksternal antar agama; atau tepatnya antara syari'at nabi/rasul Allah yang satu dengan yang lain. Sedangkan memiliki sejarah panjang, artinya karena persoalan nasikh-mansukh tidak sebatas dengan sejarah penurunan al-Qur'an, akan tetapi jauh melampaui masa-masa sebelum itu yakni dalam hubungan penurunan kitab suci al-Qur'an di satu pihak serta penurunan kitab Taurat (Perjanjian Lama) dan Injil (Perjanjian Baru) di pihak lain.
Nasikh-mansukh dalam konteks eksternal agama —yang lazim dengan sebutan al-bada'—memang diperselisihkan oleh para pemeluk agama itu sendiri tentang kemungkinannya. Bagi kalangan Islam, nasikh-mansukh eksternal agama sangat dimungkinkan keberadaannya baik secara nalar (al-dalil an-naqly) maupun berdasarkan pendengaran/periwayatan (al-dalil al-'aqly). Sedangkan kelompok Nasrani, secara mutlak menafikan kemungkinan al-bada' antar agama itu, baik menurut logika akal maupun periwayatan (teks kitab suci) yang mereka yakini. Adapun menurut paham orang-orang Yahudi, konsep al-bada' harus ditentang berdasarkan teks (kitab) suci, meskipun kemungkinannya secara nalar sangat bisa dibenarkan[12].
Penolakan Yahudi dan Nasrani terhadap kemungkinan al-bada' dan penerimaan kaum muslimin terhadap kebenaran nasakh antar agama, pada dasarnya timbul karena perbedaan paham ketiga agama ini terhadap konsep kenabian dan sekaligus kitab sucinya. Berlainan dengan kaum muslimin (pengikut Muhammad sallallahu ‘alaihi wa-sallam) yang sudah pasti mengakui kenabian Musa dan Isa ‘alaihis-salam berikut kitab suci masing-masing yang disampaikannya, yakni Taurat dan Injil, orang-orang Yahudi menolak kenabian Isa dan kenabian Muhammad sekaligus. Sama halnya dengan orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani juga menolak kenabian Muhammad saw. berikut kitab sucinya (al-Qur'an), meskipun pada saat yang bersamaan, mereka mengimani kenabian Musa dan terutama pengakuannya kepada Isa yang tidak sebatas nabi akan tetapi lebih dari itu mereka menaikkan kedudukannya sebagai "tuhan". Sebutan Tuhan Yesus dan Tuhan Anak yang mereka sematkan kepada nabi Isa, bagaimanapun menjadi petunjuk kuat tentang penuhanan Isa bin Maryam oleh pemeluk-pemeluk Nasrani.
Bila orang-orang Yahudi dahulu menerima keberadaan al-bada’, maka dengan sendirinya mengakui nabi Isa dengan Injilnya, dan pada gilirannya juga automatically menerima kehadiran Muhammad sallahu ‘alaihi wa-sallam dengan al-Qur’annya. Konsekuensinya, mereka harus melepas kitab Tauratnya. Demikian pula dengan orang-orang Nasrani dahulu, jika sekiranya mereka menerima al-bada’ atau tepatnya nasakh eksternal agama, maka dengan sendirinya akan menanggalkan kitab Injil dan mengimani kenabian Muhammad sallahu ‘alaihi wa-sallam berikut kitab suci al-Qur’annya. Sebaliknya, karena kaum muslimin mengimani Muhammad sallahu ‘alaihi wa-sallam sebagai nabi, maka otomatis mereka menerima konsep nasakh antar agama itu sebagaimana yang kita saksikan sekarang[13].

Hikmah Nasakh

Di antara hikmah-hikmah nasakh, sebagaimana dipaparkan Manna’ al-Qoththon adalah sebagai berikut:
1.      Menjaga kemaslahatan umat manusia.
2.      Perkembangan syari’at bisa mencapai derajat kesempurnaan, serta sesuai dengan perkembangan dakwah dan kondisi masyarakat.
3.      Sebagai suatu bentuk ujian bagi orang mukallaf.
4.      Sebagai suatu bentuk kebaikan dan kemudahan bagi umat manusia, karena ketika suatu hukum yang di-nasakh menjadi lebih berat, maka pahala dari hukum tersebut akan bertambah. Sebaliknya, ketika suatu hukum yang di-nasakh menjadi lebih ringan, maka hal ini merupakan suatu bentuk kemurahan bagi manusia[14].
Muhammad Alwi memaparkan bahwa hikmah nasakh hukum dan menetapkan bacaannya adalah sebagai berikut:
1.      Agar hukum yang telah di-nasakh dapat diketahui, dan pahala dari membaca ayat tersebut masih tetap berlaku.
2.      Agar nikmat atas di-nasakh-nya suatu hukum masih bisa diingat, karena nasakh pada dasarnya bertujuan untuk meringankan hukum (lit-takhfif)[15].

Analisa Atas Dalil-dalil Nasikh Mansukh

Sebagaimana telah dipaparkan di atas, bahwa terjadi nasakh di dalam al-Qur’an sendiri. Namun tidak semua ulama menyepakatinya, karena tidak mungkin al-Qur’an mengalami penghapusan atau pembatalan.
Firman Allah swt. QS. al-Baqoroh ayat 240:
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجاً وَصِيَّةً لِّأَزْوَاجِهِم مَّتَاعاً إِلَى الْحَوْلِ غَيْرَ إِخْرَاجٍ فَإِنْ خَرَجْنَ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِي مَا فَعَلْنَ فِيَ أَنفُسِهِنَّ مِن مَّعْرُوفٍ وَاللّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). Akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang ma'ruf terhadap diri mereka. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.
Menurut beberapa riwayat hadits ayat ini dinasakh dengan QS. al-Baqoroh ayat 234:
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجاً يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْراً فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنفُسِهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَاللّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis 'iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Dan Allah mengetahui apa yang kamu perbuat”.
Dari kedua ayat ini didapatkan beberapa persoalan, yaitu:
1.      Mengenai wasiat
Dalam Islam ketika seorang akan meninggal dunia boleh berwasiat untuk orang yang ditinggalkan, dengan batasan tidak lebih dari 1/3 harta tirkah (tinggalan mayit). Akan tetapi, hukum ini dihapus dengan ayat waris.
2.      Mengenai warisan
Ketika seorang istri ditinggal mati suaminya dan tidak meninggalkan wasiat, maka dia mendapat bagian warisan sebagai berikut:
-          Jika tidak memiliki anak, maka bagian istri adalah 1/4 dari harta tirkah.
-          Jika memiliki anak, maka bagian istri adalah 1/8 dari harta tirkah.
Hal ini merujuk pada Q.s. an-Nisa‘ ayat 12:
وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ أَزْوَاجُكُمْ إِن لَّمْ يَكُن لَّهُنَّ وَلَدٌ فَإِن كَانَ لَهُنَّ وَلَدٌ فَلَكُمُ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْنَ مِن بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِينَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِن لَّمْ يَكُن لَّكُمْ وَلَدٌ فَإِن كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُم مِّن بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوصُونَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ وَإِن كَانَ رَجُلٌ يُورَثُ كَلاَلَةً أَو امْرَأَةٌ وَلَهُ أَخٌ أَوْ أُخْتٌ فَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا السُّدُسُ فَإِن كَانُوَاْ أَكْثَرَ مِن ذَلِكَ فَهُمْ شُرَكَاء فِي الثُّلُثِ مِن بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصَى بِهَا أَوْ دَيْنٍ غَيْرَ مُضَآرٍّ وَصِيَّةً مِّنَ اللّهِ وَاللّهُ عَلِيمٌ حَلِيمٌ
Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika Isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun”.
3.      Mengenai ‘iddah istri yang ditinggal mati suaminya.
-          Jika istri ditinggal mati dalam keadaan hamil, maka ‘iddahnya adalah sampai melahirkan (bisa mencapai 1 tahun sebagaimana dijelaskan dalam QS. al-Baqoroh ayat 240)
-          Jika istri ditinggal mati tidak dalam keadaan hamil, maka ‘iddahnya adalah selama 4 bulan 10 hari (sebagaimana dijelaskan dalam QS. al-Baqoroh ayat 234)
Sedangkan mengenai kewajiban istri yang ditinggal mati suaminya untuk berada di dalam rumah, terdapat khilaf (perbedaan pendapat) di kalangan ulama.[16]
Demikian halnya dengan arah kiblat yang semula menghadap Baitul Maqdis (Palestina) kemudian dipindah ke Masjidil Haram (Mekah), dengan bukti ayat sebagai berikut:
QS. al-Baqoroh ayat 115 (dalil mansukh):
وَلِلّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ فَأَيْنَمَا تُوَلُّواْ فَثَمَّ وَجْهُ اللّهِ إِنَّ اللّهَ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui”.
QS. al-Baqoroh ayat 144 (dalil nasikh):
قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاء فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنتُمْ فَوَلُّواْ وُجُوِهَكُمْ شَطْرَهُ وَإِنَّ الَّذِينَ أُوْتُواْ الْكِتَابَ لَيَعْلَمُونَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِن رَّبِّهِمْ وَمَا اللّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا يَعْمَلُونَ
Sungguh kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan Sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan”.
Hukum ayat yang pertama (al-Baqoroh ayat 115) tidak dihapus dengan ayat yang kedua (al-Baqoroh ayat 114), akan tetapi dialihkan atau dipindah hukumnya pada ayat yang kedua. Yaitu yang semula arah kiblat itu Baitul Maqdis di Palestina, kemudian dipindah ke arah Masjidil Haram di Mekah.
Dari analisa singkat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa tidak semua ayat al-Qur’an yang tampak kontradiktif tidak dapat disinkronkan (QS. al-Baqoroh ayat 240 dan 234). Sebaliknya, tidak semua ayat yang tampak kontradiktif dapat disinkronkan (QS. al-Baqoroh ayat 115 dan 144). Sehingga juga dapat disimpulkan bahwa pengertian nasakh yang lebih tepat adalah adalah pemindahan atau pengalihan, bukan pembatalan atau penghapusan sebagaimana dipaparkan oleh beberapa ulama.

Kesimpulan

1.      Nasakh adalah pemindahan/pengalihan hukum syar'i yang lama dengan hukum syar'i yang baru berdasarkan dalil syar'i yang datang kemudian.
2.      Syarat nasakh, yaitu; 1) dalil nasikh syar'i, 2) dalil mansukh syar'i, 3) dalil nasikh datang setelah dalil mansukh, 4) adanya kontradiksi antara dalil nasikh dan dalil mansukh.
3.      Obyek atau sasaran nasakh adalah ayat yang berisikan amar (perintah) dan nahi (larangan) baik bersifat shorih (transparan) maupun ayat yang berupa kalimat berita (khobar) yang menyimpan makna amar dan nahi.
4.      Jika ditinjau dari terjadinya nasakh antara al-Qur'an dan sunnah, maka nasakh terbagi menjadi:
  1. Nasakh al-Qur'an dengan al-Qur'an
  2. Nasakh al-Qur'an dengan sunnah, yang kemudian terbagi menjadi 2 bentuk, yaitu; a) Nasakh al-Qur'an dengn sunnah ahad, b) Nasakh al-Qur'an dengan sunnah yang mutawatiroh
  3. Nasakh sunnah dengan al-Qur'an
  4. Nasakh sunnah dengan sunnah, yang kemudian terbagi menjadi 4 macam, yaitu; 1) nasakh mutawatiroh dengan mutawatiroh, 2) nasakh ahad dengan ahad, 3) nasakh ahad dengan mutawatiroh, dan 4) nasakh mutawatiroh dengan ahad.
5.      Jika ditinjau dari segi terjadinya nasakh dalam al-Qur'an sendiri, maka nasakh terbagi menjadi; 1) nasakh bacaan dan hukumnya, 2) nasakh hukum dan menetapkan bacaannya, dan 3) nasakh bacaan dan menetapkan hukumnya.
6.      Nasikh-mansukh jika ditinjau dari ada tidaknya nasakh dalam surat-surat al-Qur'an terbagi menjadi; 1) surat yang tidak terdapat nasikh-mansukh didalamnya, 2) surat yang terdapat nasikh-mansukh didalamnya, 3) surat yang didalamnya hanya terdapat dalil nasikh saja, 4) surat yang didalamnya hanya terdapat dalil mansukh saja.
7.      Terjadi perbedaan pendapat tentang keberadaan nasikh-mansukh dalam al-Qur'an, baik secara teoritis maupun aplikatif. Demikian halnya dengan konsep nasikh-mansukh antar agama yang lazim disebut dengan al-Bada'.
8.      Hikmah-hikmah nasakh, antara lain:
  1. Menjaga kemaslahatan umat manusia.
  2. Perkembangan syari'at bisa mencapai derajat kesempurnaan, serta sesuai dengan perkembangan dakwah dan kondisi masyarakat.
  3. Sebagai suatu bentuk ujian bagi orang mukallaf.
  4. Sebagai suatu bentuk kebaikan dan kemudahan bagi umat manusia.

========================

Daftar Rujukan 

al-Hasani, Muhammad 'Alwi al-Maliki. al-Qowa'id al-Asasiyah fi 'Ulumil Qur'an. Maktabah al-Mulk Fahd al-Wathoniyah. Mekah. 1998.
Shihab, Quraish, M. Membumikan al-Qur’an. Mizan. Bandung. 2004.
al-Qoththon, Manna'. Mabahits fi 'Ulumil Qur'an. Mansyurot al-'Ashriyah. Riyadh. 1973.
as-Suyuti, Jalaluddin Abdurrohman Abu Bakar. al-Itqon fi 'Ulumil Qur'an, Darul Kutub al-'Ilmiyah. Beirut. 2004.
az-Zarqoni, Muhammad Abdul 'Adzim. Manahilul 'Irfan fi 'Ulumil Qur'an. Darul Kutub al-'Ilmiyah. Beirut. 2003.
Suma, Muhammad Amin, Prof., Dr. Nasikh-Mansukh dalam Tinjauan Historis. Fungsional dan Shar’i. dalam Jurnal Kajian Islam al-Insan vol. I. Jakarta, 2005.
Katsir, Ibnu. Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah. Libanon. 2006.



[1] Manna’ al-Qoththon, Mabahits fi ‘Ulumil Qur’an, Mansyurot al-‘Ashriyah, Riyadh, 1973, h. 232 dan Muhammad Abdul ‘Adzim az-Zarqoni, Manahilul ‘Irfan fi ‘Ulumil Qur’an, Darul Kutub al-‘Ilmiyah, Beirut, 2003, h. 367.
[2] Muhammad ‘Alwi al-Maliki al-Hasani, al-Qowa’id al-Asasiyah fi ‘Ulumil Qur’an, Maktabah al-Mulk Fahd al-Wathoniyah, Mekah, 1998, h. 82.
[3] Jalaluddin Abdurrohman Abu Bakar as-Suyuthi, al-Itqon fi ‘Ulumil Qur’an, Darul Kutub al-‘Ilmiyah, Beirut, 2004, h. 339.
[4] Prof. Dr. Muhammad Amin Suma, Nasikh-Mansukh dalam Tinjauan Historis, Fungsional dan Shar’i, dalam Jurnal Kajian Islam al-Insan vol. I, Jakarta, 2005, h. 28.
[5] Muhammad Abdul ‘Adzim az-Zarqoni, Manahilul ‘Irfan…, h. 369.
[6] Muhammad Abdul Adzim az-Zarqoni, Manahilul ‘Irfan…, h. 371.
[7] Manna’ al-Qoththon, Mabahits fi… , h. 233.
[8] Manna’ al-Qoththon, Mabahits fi…, h. 236-237.
[9] Ibid, h. 238-240.
[10] Jalaluddin Abdurrohman Abu Bakar as-Suyuthi, al-Itqon…, h. 340.
[11] M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 2004) cet. XXVII, h. 145-148.
[12] Muhammad Abdul Adzim az-Zarqoni, Manahilul ‘Irfan…, h. 372-373.
[13] Prof. Dr. Muhammad Amin Suma, Nasikh-Mansukh…, h. 29-30.
[14] Manna’ al-Qoththon, Mabahits fi…, h. 230.
[15] Muhammad ‘Alwi al-Maliki al-Hasani, al-Qowa’id al-Asasiyah…, h. 80.
[16] Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim, (Libanon: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2006), jld. 1, cet. II, h. 285-286.