Review Kitab al-Minah as-Saniyyah

Al-Minah as-Saniyyah merupakan sebuah tulisan karya Sayyid Abd al-Wahab as-Sya’roni sebagai komentar atas tulisan Syaikh Abu Ishaq Ibrahim al-Matbuliy dalam buku Qomi’ ath-Thughyaan.
al-Minah as-Saniyyah membahas tentang hal-hal yang harus dilakukan seorang salik (penempuh jalan spiritual) dalam menjalani tarekat. Gaya bahasa yang digunakan cukup sederhana dan mudah dipaham bagi para pemula dan pelaku spiritual yang baru menjalani tarekat. Kesan komunikatif pun sangat terasa, seakan-akan penulis berbicara langsung dan berhadap-hadapan dengan pembaca. Sehingga bahasa yang ditampilkan banyak menggunakan kalimat perintah atau kalimat larangan langsung.

Dalam al-Minah as-Saniyyah banyak disebutkan beberapa pendapat ulama dan ahli sufi dari masa-masa klasik. Dan juga disebutkan didalamnya hadits-hadits dan ayat-ayat yang menjadi argumen untuk mendukung teori-teori yang diangkat oleh buku ini. Hal ini bertujuan untuk mempermudah pemahaman pembaca dan mempermudah bagi pembaca untuk memahami tujuan dari ditulisnya buku ini.

Pembahasan

Seorang salik untuk menuju sang Wajib al-Wujud harus melalui tahapan-tahapan yang harus dilampauinya. Tanpa tahapan-tahapan itu niscaya seorang salik tidak akan mendapati apa yang dicarinya, tidak akan sampai pada apa yang menjadi tujuannya.
Dalam al-Minah as-Saniyah disebutkan beberapa tahapan yang harus dijalani salik untuk menaiki tangga spiritual.
Masing-masing tangga ini memiliki keterkaitan antara anak tangga yang satu dengan anak tangga yang lainnya. Ketika salah satu anak tangga tidak dijalani, maka salik tidak akan sampai pada tujuannya. 
a. Taubat Dengan Penuh Istiqomah[1]
Dalam tataran awal seorang salik sebelum menjalani kehidupan spiritualnya, diharuskan untuk bertaubat. Hal ini menjadi langkah awal bagi salik karena taubat adalah dasar dari semua maqam yang akan dituju oleh salik itu sendiri. Tanpa taubat perjalanan spiritual salik bagaikan seseorang yang tidak memiliki tempat untuk berpijak, atau bagaikan membangun sebuah rumah dengan batu-bata tanpa diberi semen yang niscaya mudah roboh diterjang badai.
Taubat dalam tinjauan bahasa berarti kembali. Sedangkan dalam tinjauan syari’at berarti kembali dari segala sesuatu yang tercela kepada segala sesuatu yang terpuji.
Ada 3 tahapan dalam taubat yang harus dijalani oleh salik, yaitu:
  1. Seorang salik harus bertaubat dari dosa besar, kemudian dari dosa kecil, perkara makruh dan perbuatan yang kurang baik.
  2. Secara berurutan, bertaubat dari anggapan bahwa dirinya baik, kemudian bertaubat dari anggapan bahwa dirinya termasuk orang yang dikasihi Tuhan, kemudian bertaubat dari segala kehendak hati yang tidak diridhoi Allah.
  3. Puncaknya, seorang salik bertaubat dari lupa bermusyahadah kepada Allah, walau hanya sekejap mata.
Pada dasarnya taubat adalah mengakui atas segala kesalahan dan berjanji untuk tidak mengulanginya lagi. Hal ini telah tercermin dari apa yang telah dilakukan oleh Nabi Adam as. ketika Allah menurunkannya dari surga ke bumi. Nabi Adam as. mengakui dan merasa menyesal atas apa yang telah dilakukannya.
Dalam taubat disyaratkan adanya al-iqla’ (berhenti untuk tidak melakukan perbuatan maksiat) dan al-‘azm (memantapkan diri untuk tidak mengulangi perbuatan maksiat). Dengan taubat, dosa yang berhubungan dengan hak-hak Allah (habl min Allah) akan diampuni, dan dosa yang berhubungan dengan hak-hak makhluk (habl min an-naas) yang terkait dengan aniaya terhadap diri sendiri (berbuat maksiat yang merugikan diri sendiri) akan diampuni juga.
Dengan demikian, barangsiapa yang meyakinkan dirinya untuk bertaubat maka Allah akan menjaga dirinya dari segala hal yang merusak amal perbuatannya. Dan barangsiapa yang beristiqomah dalam menjalani taubatnya, niscaya derajat maqam salik menjadi naik.
Tanpa taubat yang benar dan lurus, niscaya tidak akan pernah bisa seorang salik untuk menjaga dirinya dari kehendak-kehendak yang buruk. Firman Allah kepada Nabi saw.: “Beristiqomahlah engkau Muhammad sebagaimana engkau diperintahkan, dan orang-orang yang bertaubat bersamamu”.
Selanjutnya, dalam perjalanan spiritualnya seorang salik seharusnya selalu berintrospeksi diri siang dan malam. Apakah dirinya telah benar-benar menjaga hak-hak Allah dan makhluk-Nya? Apakah dirinya sudah benar-benar melaksanakan apa yang diperintahkan Allah kepada dirinya?
Apakah seluruh anggota tubuhnya, telinga, mata, lidah, hatinya sudah benar-benar menjalankan perintah Allah dan menjaga hak-hak makhluk dengan ikhlas?
Jika didapati dirinya dan seluruh anggota tubuhnya berbuat ikhlas, maka sudah seharusnya salik untuk bersyukur kepada Allah. Dan sebaliknya, jika didapati dirinya dan seluruh anggota tubuhnya tidak ikhlas dalam menjaga hak-hak Allah dan makhluk-Nya, maka sudah seharusnya pula salik untuk beristighfar memohon ampun kepada Allah karena telah lalai dalam menjalankan perintah-Nya. Dan sudah seharusnya salik bersyukur ketika dirinya berbuat maksiat tidak dicabut nyawanya saat itu, dan salik harus berusaha untuk kembali bertaubat dengan sebenar-benarnya taubat.
Dan perlu ditanamkan dalam hati salik bahwa kehidupan dunia ini hanyalah sebagai jembatan menuju kehidupan hakiki akhirat. Salik harus bersikap zuhud terhadap kehidupan dunia dan segala gemerlapnya, dan selalu berusaha untuk tidak terjerumus dalam kecintaan duniawi.
Dalam sebuah hadits disebutkan: “Cinta harta dan hidup berlebih-lebihan akan menumbuh-kan sifat nifaq dalam hati, sebagaimana air menumbuhkan tumbuh-tumbuhan yang hijau”.
Dunia hanya akan menjadi penghalang bagi salik untuk menuju Allah ‘azza wa jalla. Dunia hanya akan menjadi hijab (tabir) untuk bisa menuju hakikat Allah. Sebagaimana hal ini ditegaskan oleh Abu
al-Hasan ‘Ali bin al-Muzayyin. Abu al-Hasan asy-Syadziliy juga menegaskan bahwa seorang salik tidak akan naik maqamnya kecuali dia telah mencintai Allah. Dan Allah tidak akan mencintai salik ketika dia belum membenci dunia dan seluruh isinya, dan berzuhud dari kenikmatan dunia dan akhirat.
Demikian halnya dengan apa yang dilontarkan Syaikh Abd al-Qadir al-Jailaniy bahwa barangsiapa menginginkan akhirat, maka wajib baginya untuk berzuhud terhadap dunia. Dan barangsiapa yang menginginkan Allah, maka wajib baginya untuk berzuhud terhadap akhirat.
Ketika dalam hati salik masih tertanam rasa kecintaan duniawi, maka niscaya hal ini hanya akan menjadikannya semakin lupa pada Allah. Yang menjadikannya semakin sibuk akan urusan duniawi, dan semakin lupa dengan Allah azza wa jalla.
Dengan demikian sudah seharusnya seorang salik untuk meninggalkan dunia. Dalam arti tidak membiarkan dirinya terjerumus dalam kecintaan duniawi. Karena ketika kecintaan akan pakaian, harta, jabatan dan segala sesuatu yang terkait dengan dunia, niscaya semua itu hanya akan menjadi penghalang baginya untuk bisa menggapai cinta Allah. Dan seorang salik dalam melaksanakan segala perintah-Nya harus berusaha untuk selalu ikhlas yaitu tidak mengharap balasan surga dan segala kenikmatannya, kecuali ridho dari Allah al-Haq.

b. Meninggalkan Perkara Mubah[2]
Sudah seyogyanya bagi seorang salik untuk meninggalkan perkara-perkara mubah. Karena hal ini juga akan menimbulkan kecintaan duniawi dalam hatinya. Bahkan Sayyid ‘Ali al-Murshifiy mengatakan: “Tidak benar maqam seorang salik dalam keinginannya untuk menggapai Allah sampai ia meninggalkan perbuatan mubah dan mengganti tiap perbuatan mubah dengan perbuatan yang diperintahkan oleh syari’at, baik sunnah atau yang lebih utama dari sunnah (fardhu). Dan dia menjauhi segala yang mubah seakan-akan hal itu dilarang oleh Allah, seakan-akan yang mubah adalah makruh tanzih (makruh yang mendekati haram)”.
Allah menjadikan perkara mubah hanya sebagai penghibur bagi para hamba yang mengalami kebosanan dalam melaksanakan perintah Allah. Sedangkan bagi para malaikan tidak disyari’atkan bagi mereka adanya perbuatan mubah, yang ada adalah fardhu. Karena malaikat diciptakan tanpa memiliki rasa bosan, sehingga mereka terus-menerus bertasbih dan memuji Allah.
Dan ketika salik melakukan kemubahan hanya untuk melaksanakan apa yang dirukhsohkan Allah baginya, niscaya salik tidak akan mendapati apa yang dicari dalam perjalanan spiritualnya. Salik seharusnya mengurangi per-buatan mubah dan menggantinya dengan perbuatan sunnah. Atau menjadikan perkara yang mubah sebagai perkara yang sunnah. Yaitu dengan melaksana-kan segala sesuatu yang mubah bertujuan untuk beribadah kepada Allah.
Sebagaimana halnya isi dunia lainnya, perkara mubah bisa menjadikan salik terperosok untuk menuruti hawa nafsunya. 
Hal ini jelas akan menjadi penghalang baginya untuk menuju Allah. Karena menuruti hawa nafsu merupakan bagian yang menyebabkan terhijabnya salik dari Allah ‘azza wa jalla. Dalam kitab Zabur disebutkan: “Wahai Dawud jagalah dan peringatkan umatmu dari makan untuk menuruti hawa nafsu. Karena hati orang-orang yang menuruti hawa nafsu terhalang dari-Ku”.
Sudah seyogyanya salik makan ketika diwajibkan untuk makan, berbicara ketika diwajibkan untuk berbicara, dan tidur ketika diwajibkan untuk tidur. Hal ini bertujuan agar salik tidak melampaui batas diri hingga dia menuruti hawa nafsunya. Yaitu dengan cara melaksanakan yang sunnah seakan-akan itu wajib, menjauhi yang makruh seakan-akan itu haram, menjauhi yang haram seakan-akan itu kufur. Dan melaksanakan yang mubah dengan niat yang baik. Sebagaimana hal ini diutarakan oleh Sayyid ‘Ali al-Khowwash.
Dengan demikian bagi salik sudah seharusnya untuk menjaga segala perilakunya dan perbuatannya terhadap hal-hal yang mubah untuk selalu berhati-hati dan mawas diri, agar tidak terjerumus untuk menuruti hawa nafsu. Abu al-Hasan asy-Syadziliy menyatakan bahwa ketika seorang hamba yang makan roti bercampur garam, memakai baju yang compang-camping, tidur beralas bumi, dan minum dengan air laut yang asin, dia bersyukur dan berucap alhamdulillah. Namun, dalam hatinya terbesit perasaan tidak ridho dan benci atas apa yang ditakdirkan Allah. Meskipun hamba itu adalah orang yang memiliki kemampuan melihat dengan mata hati. Niscaya dia akan mendapati dosa atas apa yang terbesit dalam hatinya. Na’udzu billah.

c. Menghindari Riya’[3]
Riya’ adalah racun yang mematikan dan melebur pahala. Karena dengan riya’ niat dari amal perbuatan menjadi rusak, meski perbuatan itu baik.
Para ‘arif billah sepakat bahwa di antara tanda-tanda riya’ adalah merasakan bahwa ibadah itu nikmat. Hal ini bertentangan dengan keadaan sebenarnya, yaitu bahwa nafsu merasa tidak nikmat dengan menjalani ibadah, kecuali nafsu sudah ditundukkan. Meski seorang salik telah memurnikan ibadahnya dari nafsu, dia tetap akan merasa berat atas sebuah ibadah. Ini sudah menjadi watak dari nafsu. Dan juga beramal untuk Allah dan untuk suatu hal lainnya. Ini juga termasuk dalam kategori riya’.
Riya’ amat halus sekali muncul dalam hati manusia, sehingga sulit untuk membedakan manakah riya’ dan manakah ikhlas. Dalam hal ini Sayyid ‘Abd al-Qodir ad-Dasythuthiy menyatakan agar salik selalu belajar untuk menjaga ikhlas dalam menuju Allah. Dan tidak menganggap mudah terhadap hal ini, serta tidak menganggap remeh terhadap kebiasaan diri terhadap riya’ ini.
Sebagai contoh salik sholat Jum’at di sisi seorang pembesar dengan bersungguh-sungguh seakan-akan dia ikhlas. Hal ini dia lakukan agar tujuan atau hajatnya terhadap pembesar itu dapat terwujud, bukan karena melaksanakan perintah Allah. Inilah bentuk riya’ yang amat sulit untuk dijauhi tanpa latihan yang rutin dan terus mawas diri terhadap bentuk-bentuk riya’ yang samar semacam ini.
Beberapa contoh bentuk riya’ yang samar, sebagai berikut:
  1. Beribadah dengan niat bertaqarrub kepada Allah. Niat semacam ini secara sekilas tampak sebagai bentuk niat yang ikhlas. Padahal inilah bentuk riya’ yang sulit dihindari oleh salik. Karena sama halnya niat bertaqarrub ini dengan melakukan sesuatu pekerjaan dengan mengharap-kan upah.
  2. Merasa senang dilihat orang lain dalam melaksanakan ibadah. Ini juga merupakan bentuk riya’ yang samar yang banyak mengecoh para pemula. Abu al-Hasan asy-Syadziliy menyatakan bahwa riya’ sejenis ini sangat berbahaya bagi para salik tingkat pemula. Karena riya’ ini memotivasi salik untuk beramal sebanyak-banyaknya dengan harapan mendapat pujian dari manusia. Bahkan apabila seorang salik merasa bahwa niatnya adalah tidak ingin dipuji oleh siapapun, dan merasa bahwa dirinya telah ikhlas. Ini juga merupakan bentuk riya’ yang samar. Agar para salik tidak terjerumus dalam bentuk riya’ ini, seyogyanya salik untuk sedapat mungkin menyembunyikan segala bentuk-bentuk ibadahnya dari penglihatan manusia. Dan membiasakan dirinya untuk merahasiakan amal ibadah yang dilakukan olehnya. Sehingga dirinya akan terbiasa pula tidak memamerkan atau menampakkan atau bahkan perbuatan amal ibadahnya dilihat orang. 
  3. Meninggalkan amal ibadah karena manusia. Ini disebabkan karena sama halnya salik meninggalkan perintah Allah karena manusia. Akan tetapi, apabila perbuatan itu adalah perbuatan fardhu, maka lebih baik dilaksanakan secara jahr (jelas) dengan tetap menjaga niat hati. al-Fudhail bin ‘Iyadh mengatakan bahwa meninggalkan suatu amal ibadah karena manusia adalah riya’. Dan melakukan ibadah karena manusia adalah syirk. Dan ikhlas adalah terbebas dari keduanya.
  4. Memperdengarkan atau menceritakan kebaikan-kebaikan yang pernah dilakukan pada masa lalu. Namun, bentuk riya’ ini masih lebih ringan dibandingkan dengan bentuk riya’ lainnya. Karena dengan tobat dan berjanji untuk tidak menceritakan kembali kebaikan apapun yang pernah dilakukan salik dapat melebur dosa riya’ ini.
  5. Meninggalkan senda gurau yang diperbolehkan. al-Fudhail bin ‘Iyadh menyatakan bahwa meninggalkan senda gurau yang diperbolehkan sama halnya menggolongkan diri ke dalam golongan orang munafik.
  6. Melebih-lebihkan sikap sopan dan tawadhu’ di depan para pembesar. ‘Ali al-Khowwash menyatakan bahwa ketika seorang pembesar datang dan di tangan salik terdapat tasbih dan dia berdzikir dengan tasbih itu. Maka seyogyanya salik untuk melepaskan tasbihnya ketika niat dalam hatinya tidak benar, karena ini juga termasuk dari riya’ yang hanya akan menghancurkan nilai pahala amal itu sendiri.
Demikianlah bentuk-bentuk riya’ yang sangat halus menyeruak ke dalam hati salik yang merusak nilai ibadah. Dan sudah seharusnya salik untuk menjaga dan membersihkan niat hatinya dari bentuk-bentuk riya’ ini.

d. Tidak Menyakiti Makhluk[4]
Ada dua macam dalam tahapan ini, pertama, tidak menyakiti makhluk dengan seluruh anggota badan.  Kedua, tidak berburuk sangka terhadap siapapun. Jika hal ini bisa dilakukan, maka salik dapat mencapai maqam tertinggi dalam dunia tarekat.Imam Sahl menyatakan bahwa makhluk tidak akan bisa mencapai Allah dan mampu menyaksikan alam malakut karena dua hal, yaitu makanan yang buruk, dan menyakiti makhluk.

e. Menjaga Diri Dari Makanan Haram[5]
Makanan haram tidak hanya menghalangi salik untuk bisa sampai pada tujuannya, akan tetapi juga menyebabkan amal ibadahnya ditolak. Sebagaimana apa yang dilontarkan Abu Hanifah: “Andaikata seorang hamba beribadah menyembah Allah hingga dirinya bagaikan tiang ini. Akan tetapi, dia tidak tahu makanan yang masuk ke dalam perutnya apakah halal atau haram. 
Niscaya amal ibadahnya tidak diterima”. Bahkan menjaga makanan halal lebih baik daripada berpuasa di siang hari dan menjalankan sholat sunnah di malam hari, sebagaimana hal ini diungkapkan oleh Abu Ishaq Ibrahim bin Adham.
Senada dengan apa yang dipaparkan di atas Syaikh ‘Ali asy-Syadziliy juga memaparkan bahwa makanan halal akan melunakkan hati, membuatnya bersinar, menyebabkan tidur menjadi sedikit, dan akhirnya terbukalah hijab baginya. Dan sebaliknya, barangsiapa makan makanan haram, maka hatinya menjadi keras, kasar, dan gelap serta terhijab untuk bisa kepada Allah. Dan akhirnya akan menyebabkan semakin banyak tidur. Hal ini beralasan karena makan makanan haram akan menggerakkan anggota tubuh untuk berbuat maksiat, dan ditambahkan oleh Allah tidur yang berlebihan sehingga menjadi berlipat ganda kemaksiatan orang tersebut.
Bahkan lebih daripada itu Sayyid ‘Ali al-Khowwash menggambarkan salik yang memakan makanan haram dan memperpanjang ibadah, bagaikan burung merpati yang mengerami telur yang busuk. Dengan demikian, sama halnya salik menyiksa dan menyengsarakan dirinya hanya untuk suatu hal yang tiada hasilnya.
Akibat lain yang ditimbulkan oleh makanan haram adalah menghilang-kan kecerdasan akal, melenyapkan kenikmatan dzikir, melebur niat yang ikhlas, membutakan mata hati, menjerumuskan mata untuk berbuat aniaya, menjadikan hina agama, diri dan akal, menyebabkan lupa, dan menghalangi diri dari masuknya rasa dari hikmah-hikmah dan pengetahuan, serta semua hal itu akan semakin berlarut-larut menimpa diri salik. Na’udzu billah.
Jika seorang salik mendapati makanan yang dirasa baginya tidak halal, maka segeralah untuk memuntahkannya. Jika tidak mampu untuk memuntah-kannya maka bersegeralah untuk bertobat dan beristighfar.
Di antara tanda-tanda makanan yang dikonsumsi tidak halal adalah; 1) menghindarkan diri untuk melaksanakan perintah Allah, 2) hati menjadi gelap dan menjadikan diri semakin berat untuk melakukan kebenaran, 3) bangun dari tidur kemudian diam hingga satu jam atau lebih hingga benar-benar sadar. 4) memanjakan dan bermain-main dengan hawa nafsu dan tidak ada keinginan untuk mengobatinya.
Dengan demikian, sudah seharusnya seorang salik untuk selalu berhati-hati dan menjaga setiap suap makanan yang masuk ke dalam perutnya, karena makanan yang haram hanya akan menghancurkan amal ibadahnya, dan perbuatan maksiat bersumber dari makanan yang tidak halal.

f. Menjaga Rasa Malu[6]
Yang dimaksud rasa malu di sini adalah malu untuk berdzikir kepada Allah dengan suara keras. Malu yang demikian tergolong ke dalam bentuk takabbur. Dan sudah seharusnya salik untuk menghindarinya.
Sayyid ‘Umar bin al-Faridh menuturkan dalam sebuah syair:
تَمَسَّكْ بِأَذْيَالِ الْهَوَى وَاخْلَعِ الْحَيَا   وَخَلِّ سَبِـيْلَ النَّاسِكِيْنَ وَإِنْ جَلُّوْا
“Kuasailah hinanya nafsu, buanglah rasa malu. Lepaskan untuk menuju jalan orang-orang yang menuju pada-Nya, walau tinggi kedudukannya”.

g. Tidak Curang Dalam Pekerjaan[7]
Dari Abu Hurairah diceritakan suatu hari Nabi berjalan di tengah pasar dan mendapati tumpukan makanan. Nabi pun memasukkan tangannya ke dalam tumpukan makanan itu, dan beliau mendapatinya basah. Beliau bertanya kepada pemilik makanan itu: “Apa ini?”. Si pemilik makanan itu menjawab: “Makanan itu terkena hujan”. Nabi pun melanjutkan: “Mengapa tidak engkau taruh di atas agar orang-orang tahu”. Kemudian beliau bersabda: “Barangsiapa menipu, maka dia bukan golonganku” (HR. Muslim).
Menipu atau curang dalam pekerjaan akan menyebabkan harta yang didapat tidak membawa berkah. Dan sebaliknya pekerjaan yang dilakukan dengan jujur, meskipun tidak membawa untung yang banyak, niscaya akan membawa berkah. Karena sebaik-baik manusia menyembunyikan kebohongan dan kecurangannya, kelak pasti akan terkuak.
Syaikh Abu al-Hasan asy-Syadziliy menyatakan bahwa barangsiapa bekerja dan melaksanakan perintah Allah, maka sempurnalah mujahadahnya.
Bekerja adalah suatu kewajiban bagi salik. Bahkan Sayyid Abd al-Wahab as-Sya’roni menggambarkan seorang fakir yang tidak memiliki pekerjaan bagaikan burung hantu yang tinggal di tempat yang rusak. Dia sama sekali tidak memberi manfaat kepada orang lain. Dan sudah seyogyanya salik untuk bekerja untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Inilah yang menjadi suatu penyempurna kehidupan spiritual salik.
Salik yang bekerja lebih baik daripada para ahli ibadah yang tidak bekerja karena beberapa hal sebagai berikut:
  1. Mereka makan dari hasil jerih payah pekerjaan mereka.
  2. Mereka menjadi tidak sombong dan berbangga diri atas ilmu mereka. Dan menjadikan mereka merasakan betapa hina diri mereka dan betapa mulia orang lain.
  3. Dengan rutinitas pekerjaan, mereka menjadi terhindar dari menyerupakan Allah dengan lainnya.
  4. Ketika mereka secara tidak sengaja bermaksiat, maka mereka akan memandang maksiat itu sebagai suatu yang menjijikkan, dan tanpa sadar dosa maksiat itu hancur lebur karena pekerjaan yang dilakukannya dengan niat ibadah.
Dengan demikian, sudah seyogyanya bagi salik menjalani rutinitas mu’amalahnya dengan jujur, penuh keikhlasan, dan bekerja hanya untuk menahan dirinya dari meminta-minta, serta tidak berlebih-lebihan dalam mencari rizki. Imam Syafi’i berkata: “Mencari harta halal yang lebih, merupa-kan suatu siksaan yang diberikan oleh Allah pada ahli tauhid”.

h. Memerangi Nafsu[8]
Imam Sahl at-Tasturiy mengungkapkan bahwa seburuk-buruk maksiat adalah bisikan-bisikan nafsu yang kebanyakan manusia tidak mempedulikan-nya, padahal bisikan-bisikan nafsu adalah sebuah dosa. 
Seorang salik ketika tidak mempedulikan bisikan-bisikan nafsu dan dia selalu dalam keadaan berdzikir, niscaya hatinya akan menjadi bersinar. Hatinya akan menjadi suatu rahasia yang terjaga, setan pun menjauhkan diri sejauh mungkin darinya, semua bentuk bisikan setan pun menjauh, sehingga di dalam dirinya hanya ada bisikan-bisikan nafsu saja. Jika keadaan sudah demikian, seorang salik harus segera menghilangkan bisikan-bisikan nafsu itu dengan pengetahuannya.
Untuk memerangi nafsu terdapat beberapa cara, yaitu:
  1. Dengan rasa lapar. Rasa lapar di sini dilakukan dengan cara mengurangi makan sedikit demi sedikit. Dengan rasa lapar nafsu menjadi mudah untuk ditundukkan. Dengan rasa lapar, unsur air dan tanah manusia menjadi terbuka, sehingga dengan kadar lapar itu hati salik menjadi jernih, bening. Dan dengan rasa lapar pula setan menjauhi salik.
    Syaikh Muhyiddin bin al-‘Arabiy menyebutkan dalam
    bukunya “al-Futuhat al-Makkiyah” bahwa ketika Allah menciptakan nafsu, Allahberfirman kepadanya: “Siapa Aku?”. Nafsu menjawab: “Siapa aku?”. Kemudian Allah menempatkannya dalam Lautan Lapar selama seribu tahun. Kemudian Allah berfirman padanya: “Siapa Aku?”. Nafsu men-jawab: “Engkau Tuhanku”.
    Syaikh Abu Sulaiman ad-Daraniy berkata: “Kunci
    dunia adalah kenyang, dan kunci akhirat adalah lapar”.
    Yahya bin Mu’adz ar-Raziy berkata: “Kenyang adalah
    api, dan syahwat bagaikan kayu bakar yang mampu membakar (diri manusia). Api ini tidak akan menyala selama pemiliknya tidak membakarnya”.
  2. Melaksanakan pekerjaan yang berat. Pekerjaan berat ini dilakukan untuk melatih dan menyiksa nafsu jiwa yang selalu meluap-luap, agar dia menjadi taat dan patuh untuk melaksanakan perintah Allah.
  3. Dengan menyedikitkan tidur. Tidur adalah saudara kematian. Banyak tidur menunjukkan tidak adanya rasa cinta salik terhadap Allah, karena dengan banyak tidur salik akan melalaikan dirinya untuk melaksanakan sholat malam.
    Malik bin Dinar menyatakan bahwa tidak tidur malam
    hari dengan kontinyu akan memecah dan memisahkan empat unsur manusia, yaitu unsur air, tanah, udara dan api. Dengannya, alam malakut menjadi terlihat, dan kerinduan akan ridho Allah menjadi tumbuh.
    Meninggalkan harta benda, meninggalkan banyak
    makan, dan meninggalkan banyak tidur merupakan tiga hal yang harus dilaksanakan oleh salik, dan apabila tiga hal ini tidak ada dalam diri salik maka dia adalah seorang pembohong. Sebagaimana hal ini diutarakan oleh Ibn al-Hawariy.

i. Menetapi ‘Uzlah[9]
Diriwayatkan oleh Bukhari Muslim dari Abi Sa’id al-Khudriy bahwasanya seorang laki-laki bertanya kepada Nabi saw. Dia berkata: “Manusia yang bagaimana yang baik wahai Rasul?”. Rasul menjawab: “Laki-laki yang berjihad dengan jiwa raganya di jalan Allah”. Dia bertanya lagi: “Kemudian siapa?”. Nabi menjawab: “Laki-laki yang menyepikan diri di tepi-tepi gunung dan menyembah Tuhannya”.
’Uzlah merupakan tahap awal yang harus dilalui salik dalam perjalanan spiritualnya, dan selanjutnya adalah khalwah. Dengan ‘uzlah salik menjadi selamat dari segala hal yang menyebabkan dirinya lupa
akan Allah ‘azza wa jalla. Namun, bukan berarti uzlah itu lebih baik daripada pergaulan dengan manusia, akan tetapi setidak-tidaknya salik bisa membagi waktunya untuk beribadah dan untuk bergaul dengan manusia.
Apa yang menjadi perbedaan antara ‘uzlah dan khalwah. Khalwah adalah menyepikan diri dari orang lain agar tidak menyebabkan lupa dari Allah. Sedangkan ‘uzlah adalah menyepikan diri dari nafsu syahwat dan apa yang menjadi ajakannya.

j. Tidak Banyak Bicara[10]
Yang dimaksud disini adalah tidak berbicara kecuali ada keperluan. Karena keselamatan salik terletak pada lidahnya, semakin sering dia berbicara tanpa adanya kebutuhan, niscaya semakin banyak dosanya. Dan ketika dosa semakin banyak, maka semakin gelaplah hatinya. Dan sebaliknya, semakin sering salik untuk menahan diri dari ucapan yang tiada guna, niscaya semakin sedikit kesalahannya dan dosanya, dan menjadi teranglah hatinya.
Abu Bakar bin ‘Abbas menyatakan bahwa banyak berbicara akan melebur kebaikan, sebagaimana bumi menyerap air. al-Fudhail juga memapar-kan bahwa barangsiapa selalu menghitung-hitung (menjaga dan mengawasi) perkataan dari perbuatannya, maka menjadi sedikitlah bicaranya. Para ulama tidak mewariskan hikmah kecuali hanya melalui diam dan bertafakkur. Karena wara’ dalam ucapan lebih berat daripada wara’ dalam makanan dan pakaian.

k. Tidak Meninggalkan Sholat Malam[11]
Yang dimaksud dengan sholat malam di sini adalah sholat-sholat sunnah yang dilaksanakan pada malam hari. Dalam hadits riwayat Muslim disebut-kan: “Sholat yang utama setelah sholat fardhu adalah sholat pada tengah malam”.
Sholat malam yang baik adalah yang dilaksanakan di rumah. Sebagai-mana sabda Nabi saw.: “Sebaik-baik sholat adalah sholat seseorang yang dilakukan di rumahnya, kecuali sholat fardhu”. Karena sholat malam akan menjadikan rumah salik menjadi bercahaya bagaikan cahaya bintang-bintang yang dilihat manusia dari bumi. Dan sholat malam yang dilakukan di rumah menjadikan setan pergi. Sebagaimana hal ini juga disebutkan dalam hadits.
Sholat malam yang afdhol dilaksanakan ketika sudah memasuki separuh malam yang kedua. Karena pada separuh malam yang kedua, karunia-karunia Allah banyak diturunkan. Sehingga salik pada waktu-waktu seperti ini sebisa mungkin untuk tidak meninggalkan sholat malam. Dan sholat malam akan menjadi cahaya orang mukmin kelak di hari kiamat. 
Dengan demikian, apabila salik berusaha semaksimal mungkin untuk tidak meninggalkan sholat malam. Niscaya akan terkuak baginya rahasia alam malakut, dan akan terbuka hijabnya dari Allah. Namun, sudah manusia salik akan mengalami malas, enggan bahkan berat untuk melaksanakan sholat malam. Ketika hal ini terjadi seyogyanya salik meneliti dan mengintrospeksi dirinya, apakah yang menyebabkan dirinya malas? Apakah karena telah melakukan suatu maksiat batin? Seperti riya’, takabbur, ‘ujub, iri dan dengki, berbuat makar, suka pujian, dan lain sebagai-nya. Karena dosa akan membuat hati salik menjadi berat untuk melaksanakan perintah Allah baik yang wajib maupun yang sunnah. Bahkan ketika Sayyid Afdhol ad-Diin mendapati suatu penyakit dalam hatinya, maka dia meninggalkan sholat malam. Dia beralasan karena dia merasa malu untuk berdiri menghadap Tuhan dengan diri yang berlumuran kotoran.

l. Tidak Meninggalkan Sholat Jama’ah[12]
Begitu banyak hadits yang menjelaskan keutamaan sholat berjama’ah. Diantaranya adalah “Sholat jama’ah lebih baik dibanding sholat yang dilaksanakan secara sendiri-sendiri sebanyak dua puluh tujuh derajat”. Bahkan para ulama menyatakan di antara suatu jama’ah ada seorang wali Allah yang menemaninya.
Suatu ketika ‘Abdulloh bin ‘Umar ketinggalan sholat Isya’ berjama’ah. Dia pun akhirnya melaksanakan sholat Isya’ di rumahnya dan selama semalaman dia terus sholat hingga terbitnya fajar. Dia melakukan hal ini sebagai ganti atas jama’ah sholat Isya’ yang ia tinggalkan.
Dari sini dapat dipahami betapa besar keutamaan sholat berjama’ah. Dan sudah seharusnya salik untuk selalu menjaga sholat fardhunya dan melaksana-kannya dengan berjama’ah.

m. Menghindarkan Diri Dari Perbuatan Aniaya Terhadap Manusia[13]
Perbuatan aniaya atau dholim ini ada 2 macam, yaitu terhadap diri sendiri dan orang lain. Berbuat aniaya terhadap diri sendiri adalah seperti melakukan perbuatan maksiat.
Namun, menurut pandangan Sayyid al-Khowwash perbuatan aniaya ada tiga bagian, yaitu aniaya yang berhubungan dengan jiwa, aniaya yang berhubungan dengan harta, dan aniaya yang berhubungan dengan harga diri.
Ada hukum yang terkait dengan jiwa seperti pembunuhan baik sengaja atau tidak sengaja, qishosh, diyat, kafarot (denda), dan lain sebagainya sebagaimana dijelaskan dalam kitab-kitab fiqh.
Hukum yang terkait dengan harta seperti kewajiban untuk mengembali-kan harta benda terhadap orang yang dianiaya, atau kepada ahli warisnya. Dan ketika tidak mampu maka diganti dengan memperbanyak perbuatan baik yang pahalanya ditujukan kepada orang yang dianiaya.
Sedangkan hukum yang terkait dengan harga diri adalah bentuk aniaya seperti ghibah (menggunjing), namimah (adu domba). Dari bentuk aniaya yang terkait dengan harga diri ini akan menimbulkan lagi bentuk aniaya lainnya seperti iri dengki, dan terputusnya rasa cinta kasih antara sesama. Dan untuk melunasi atau mengganti dosa dari bentuk aniaya ini adalah dengan memperbanyak istighfar.
Namun, para ulama menyatakan bahwa bentuk aniaya yang paling berat adalah aniaya yang terkait dengan harga diri. Sehingga ketika salik telah ter-jerumus ke dalam bentuk aniaya harga diri seperti menggunjing, maka bersegeralah untuk memohon ampun kepada Allah dengan memperbanyak beristighfar, kemudian membaca al-Fatihah, al-Ikhlas, al-Falaq dan an-Naas, dan pahalanya dihadiahkan kepada orang yang digunjingkan.

n. Memperbanyak Istighfar[14]
Dalam hadits riwayat Bukhari disebutkan: “Aku beristighfar kepada Allah dan aku bertaubat kepada-Nya dalam satu hari sebanyak 70 kali”. Dan dalam hadits riwayat Muslim disebutkan: “Ketika hatiku gundah, maka aku beristighfar kepada Allah sebanyak 100 kali”.
Abu al-Hasan asy-Syadziliy menyatakan bahwa sudah seharusnya salik untuk selalu beristighfar kepada Allah meski tidak sedang melakukan dosa. Karena sebagaimana disebutkan dalam hadits bahwa Nabi begitu sering ber-istighfar dan bertaubat kepada Allah. Padahal Allah sudah dan mengampuni semua dosa Nabi.
Bahkan ketika rizki menjadi sulit, maka dengan istighfar pintu rizki akan menjadi terbuka. Sebagaimana hal ini disebutkan dalam hadits Ibn Hibban: “Barangsiapa menetapi istighfar, niscaya Allah akan menjadikan baginya jalan keluar dari setiap kesempitan, menjadikan kemudahan dari setiap kesedihan-nya, dan memberinya rizki tanpa dia sangka-sangka”. Dan ketika suatu kaum selalu beristighfar, maka Allah tidak akan menimpakan suatu musibah kepada mereka. Sebagaimana firman Allah:
وَمَا كَانَ اللهُ لِيُعَذِّبَهُمْ وَهُمْ يَسْتَغْفِرُوْنَ
Dengan demikian, sudah seharusnya salik untuk selalu beristighfar memohon ampun kepada Allah. Agar dosa-dosa yang telah dilakukannya mendapat ampunan-Nya. Bahkan ketika dia mendapati orang-orang menilai dia sebagai orang yang baik, namun dalam dirinya tidak demikian. Maka bersegeralah untuk beristighfar kepada Allah ‘azza wa jala. Sebagaimana hal ini diutarakan oleh para ulama.

o. Menetapi Malu[15]
Dalam sebuah hadits disebutkan: “Malulah kalian kepada Allah dengan sebenar-benarnya malu!”. Sahabat pun menjawab: “Kami malu ya Rasulallah, dan segala puji hanya bagi Allah”. Nabi bersabda: “Bukan itu. Akan tetapi, barangsiapa yang malu kepada Allah maka hendaknya dia menjaga kepala dan apa yang terkandung di dalamnya, menjaga perutnya dan apa yang terkandung di dalamnya, dan hendaknya dia mengingat mati dan busuknya jasad. Barangsiapa menghendaki akhirat, maka tinggalkanlah perhiasan kehidupan dunia. Dan barangsiapa yang melakukannya, maka dia telah malu kepada Allah dengan sebenar-benarnya malu”.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa malu di sini adalah malu untuk bermaksiat kepada Allah. Karena dengan malu salik akan selalu merasa diawasi oleh Allah. Sehingga dia akan selalu berusaha menjaga semua per-buatannya dari melalaikan dirinya dari Allah.

p. Menjaga Perilaku[16]
Banyak pendapat ulama yang menyatakan tentang keutamaan menjaga perilaku. Karena perbaikan perilaku adalah tujuan pokok dari perjalan spiritual ini. Bahkan para ulama menyatakan bahwa perilaku adalah sepertiga bagian dari agama.
Ulama lain juga menyatakan ketika seorang salik dalam melaksakan ibadahnya akan tetapi tidak menjaga perilakunya, maka tidak akan terbuka baginya hijab antara dirinya dan Allah. Tidak hanya itu, para kekasih Allah bisa sampai kepada-Nya bukan karena dengan banyaknya amal, melainkan karena perilaku dan akhlak yang baik.

q. Selalu Berdzikir Kepada Allah[17]
Dzikir merupakan puncak dari tahapan-tahapan yang harus dijalani salik, tahapan yang bisa mengantarkannya pada tujuannya, yaitu Allah ‘azza wa jalla. Begitu banyak keterangan yang menyebutkan tentang keutamaan dzikir. Namun, di sini hanya akan dipaparkan beberapa hal terkait keutamaan dzikir ini.
Dalam sebuah hadits qudsiy riwayat Bukhari Muslim, Allah berfirman: “Aku ada dalam persangkaan hambaku. Aku bersamanya ketika dia menyebut-Ku. Ketika dia menyebut-Ku dalam hatinya, maka Aku akan menyebutnya dalam diri-Ku. Dan ketika dia menyebut-Ku dalam suatu kumpulan, maka Aku akan menyebutnya dalam suatu kumpulan yang lebih baik dari kumpulannya”.
Dalam hadits riwayat Muslim, an-Nasa’iy dan al-Bazzar: “Apakah tidak aku ceritakan kepada kalian suatu amal yang paling baik, yang lebih baik di sisi Tuhan kalian, yang paling tinggi diantara derajat kalian, yang lebih baik bagi kalian daripada menafkahkan emas dan perak, yang lebih baik bagi kalian daripada melemparkan musuh kemudian memotong leher mereka, yang lebih baik daripada mereka memotong leher kalian?”. Para sahabat menjawab: “Ya”. Nabi bersabda: “(Amal itu adalah) berdzikir kepada Allah ‘azza wa jalla”.
at-Thabrani juga meriwayatkan: “Perumpamaan orang yang berdzikir kepada Tuhannya dengan orang yang tidak berdzikir, adalah bagaikan hidup dan mati”. Dalam hadits lain riwayat at-Thabrani juga disebutkan: “Allah berfirman: ‘Wahai anak Adam, ketika engkau menyebut-Ku maka engkau telah bersyukur kepada-Ku. Akan tetapi, ketika engkau melupakan-Ku maka engkau telah kufur kepada-Ku”.
Sudah seyogyanya bagi salik untuk selalu menjaga hatinya untuk selalu ingat dan berdzikir kepada Allah. Karena dzikir merupakan pokok dari perjalanan spiritual ini. Tanpa dzikir yang kontinyu dilaksanakan, niscaya salik tidak akan sampai pada apa yang menjadi tujuannya, yaitu Allah ‘azza wa jalla.
Syaikh Abu al-Mawahib asy-Syadziliy menuturkan bahwa dzikir itu lebih agung daripada sholat, karena sholat — meskipun merupakan suatu ibadah yang begitu agung — terkadang tidak diperbolehkan dalam beberapa waktu. Berbeda dengan dzikir, dzikir dapat dilakukan kapan saja dan dimana saja.
Mengenai keutamaan antara dzikir jahr (keras) dan dzikir sirr (pelan) Abu al-Mawahib asy-Syadziliy juga menjelaskan bahwa bagi salik tingkat pemula dzikir jahr ini sangat dianjurkan. Dan untuk salik yang sudah tinggi dzikir sirr inilah yang dianjurkan. Lebih lanjut dia juga memaparkan mengenai lafadz yang digunakan dalam dzikir. Lafadz dzikir yang baik untuk salik adalah lafadz “Laa ilaaha illallaah”. Ini dianjurkan bagi salik ketika hawa nafsu masih berkuasa atas dirinya. Namun, ketika hawa nafsu sudah bisa dikuasai, maka dzikir yang digunakan selanjutnya adalah lafadz “Allah”. 
Karena lafadz ini akan lebih bisa mengantarkan salik pada Allah. Berbagai argumen dan pendapat disebutkan oleh para ahli sufi terkait dengan keutamaan dzikir. Di antaranya adalah sebagai berikut:
  1. Dzikir adalah ibadah yang paling cepat di antara ibadah lainnya dalam membuka rahasia alam malakut.
  2. Tanpa dzikir seorang salik tidak bisa mencapai Allah.
  3. Tanpa berdzikir tidak akan terkuak hijab antara salik dan Allah, dan keikhlasan pun tidak akan muncul.
  4. Rahmat Allah turun karena dzikir.
  5. Dzikir menghilangkan kesedihan hati.
Sayyid Abu Madyan at-Talsaniy mengatakan bahwa barangsiapa yang ajeg dalam berdzikir, maka akan menjadi jernih hatinya. Barangsiapa sudah jernih hatinya, maka tempatnya adalah hadirat ilahi.
Yang dimaksud hadirat ilahi adalah salik menyaksikan dirinya berada di depan Allah.
Dengan dzikir hati menjadi lembut dan mudah untuk menerima nasihat serta cahaya ma’rifat. Sebagaimana Abu Muhammad at-Turmudziy me-mamparkan bahwa dzikir kepada Allah akan membahasi dan melunakkan hati. Ketika hati sunyi dari dzikir, maka panasnya nafsu syahwat akan menimpa-nya, hati menjadi kering dan anggota tubuh menjadi tidak patuh.
Dengan dzikir berbagai bisikan setan menjadi hilang. Dan ketika bisikan setan telah hilang maka tiada kemaksiatan yang dilakukan. Demikian halnya dengan bisikan nafsu, ketika dzikir telah menguasai hati, maka ajakan untuk menuruti keinginan akan hilang. Bahkan dengan dzikir diri salik akan dijaga oleh Allah dari segala sesuatu yang membahayakan, sebagaimana hal ini diutarakan oleh Dzu an-Nuun al-Mishriy.
Setan akan lari dari salik yang selalu mengisi hatinya dengan dzikir. Namun sebaliknya, ketika salik hatinya sunyi dari dzikir, maka setan pun akan bersemayam dalam hatinya.
Mengenai adab dalam berdzikir, salik hendaknya menjernihkan hatinya dari segala hal yang menyebabkan rusaknya dzikir itu sendiri. Dan melaksanakan dzikir dengan seluruh kekuatan hati serta menghadirkan keagungan Allah dalam hatinya, agar dia mampu mencapai maqam yang ditujunya dengan cepat. Dan alangkah baiknya bentuk dzikir jahr dilaksanakan secara berjama’ah. Karena dengan dzikir jahr berjama’ah akan semakin mempercepat terbukanya hijab.

Kesimpulan

Seorang salik untuk menuju sang Wajib al-Wujud harus melalui tahapan-tahapan yang harus dilampauinya. Tanpa ahapan-tahapan itu niscaya seorang salik tidak akan mendapati apa yang dicarinya, tidak akan sampai pada apa yang menjadi tujuannya.
Tahapan-tahapan itu adalah sebagai berikut:
  1. Taubat dengan penuh istiqomah
  2. Meninggalkan perkara mubah
  3. Menghindari riya’ (pamer)
  4. Tidak menyakiti makhluk
  5. Menjaga diri dari makanan haram
  6. Menjaga rasa malu
  7. Tidak curang dalam pekerjaan
  8. Memerangi nafsu
  9. Menetapi ‘uzlah
  10. Tidak banyak bicara
  11. Tidak meninggalkan sholat malam
  12. Tidak meninggalkan sholat jama’ah
  13. Menghindarkan diri dari perbuatan aniaya terhadap manusia
  14. Memperbanyak istighfar
  15. Menetapi malu
  16. Menjaga perilaku
  17. Selalu berdzikir kepada Allah
Masing-masing tahapan ini harus dijalani seluruhnya, karena masing-masing tahapan ini saling terkait antara tahapan yang satu dengan tahapan yang lainnya.







[1]Sayyid Abd  al-Wahab as-Sya’roni, al-Minah as-Saniyyah, (tt.: Maktabah Muhammad bin Syarif, tth.), hal. 2-4.
[2]Ibid, hal. 4-5.
[3]Ibid, hal. 5-7.
[4]Ibid, hal. 7.
[5]Ibid, hal. 7-8.
[6]Ibid, hal. 8.
[7]Ibid, hal. 8-9.
[8]Ibid, hal. 9-10.
[9]Ibid, hal. 10-11.
[10]Ibid, hal. 11.
[11]Ibid, hal. 11-13.
[12]Ibid, hal. 13.
[13]Ibid, hal. 13-14.
[14]Ibid, hal. 14-15.
[15]Ibid, hal. 15.
[16]Ibid, hal. 16.
[17]Ibid, hal. 16-20.