Konsep Maqām Dalam Pandangan Ibn ‘Aţā’illah


Ibn ‘Aţā’illah menganjurkan kepada seseorang yang berkehendak mencapai maḥabbah kepada Allah agar menempuh sembilan langkah; (1) taubat, (2) zuhd, (3) şabar, (4) shukur, (5) khauf dan rajā’, (6) riḍa dan tawakkal, (7) maḥabbah.

1. Maqām Taubat
أما سبيل التوبة فهو عند ابن عطاء الله التفكر والخلوة وإذا أراد السالك أن يرسخ في مقامها فعليه أن يفكر في أعمال نهاره ، فإذا وجد طاعة شكر الله عليها، وإن وجد معصية وبخ نفسه عليها واستغفر الله وتاب إليه.
ويبين لنا ابن عطاء الله أن مقام التوبة أهم المقامات من حيث أن جميع المقامات الأخرى مفتقر إليها ، ويذكر أن من علامات الوصول إلى النهايات وجود تصحيح البدايات ومن أهمها التوبة ، ويذهب إلى أن تصحيح مقام التوبة للسالك يكون بفضل من الله فيقول للسالك: “ولأن يصحح الله لك مقام التوبة خير لك من أن
يطلعك على سبعين ألف غيب ويفقدك إياها

Adapun jalan taubat menurut Ibn ‘Aţā’illah adalah dengan bertafakur dan berkhalwat. Jika seorang sālik ingin maqām taubatnya kokoh, maka hendaknya bagi sālik untuk memikirkan segala perbuatannya di siang hari. Ketika dia mendapatinya dalam bentuk ketaatan, maka hendaknya dia bersyukur kepada Allah (atas ketaatannya tersebut). Dan sebaliknya jika dia mendapatinya dalam bentuk kemaksiatan dan terlelap di dalamnya, maka hendaknya dia memohon ampun dan bertaubat kepada-Nya.
Ibn ‘Aţā’illah juga menjelaskan kepada kita bahwa maqām taubat adalah maqām terpenting, karena seluruh maqām lainnya membutuhkan padanya. Ibn ‘Aţā’illah juga menyebutkan bahwa di antara tanda seorang sālik sampai pada tujuan akhirnya adalah adanya kebenaran permulaan, dan di antara permulaan itu adalah taubat. Dia juga berpendapat bahwa maqām taubat yang baik bagi seorang sālik adalah semata anugrah Allah, sehingga dia berkata pada sālik: ’Allah memperbaiki maqām taubat bagimu, itu lebih baik daripada Allah menunjukkan bagimu tujuh puluh ribu hal yang gaib, sedangkan dirimu tidak memiliki maqām taubat’.”
Cara taubat sebagaimana pandangan Ibn ‘Aţā’illah dengan bertafakkur dan berkhalwat. Yang dimaksud tafakkur di sini adalah hendaknya seorang sālik melakukan instropeksi terhadap semua perbuatannya di siang hari. Jika dia mendapati perbuatannya tersebut berupa ketaatan kepada Allah, maka hendaknya dia bershukur kepada-Nya. Sebaliknya jika dia mendapati amal perbuatannya berupa kemaksiatan, maka hendaknya dia segera beristighfar dan bertaubat kepada-Nya.
Taubat adalah maqām awal yang harus dilalui oleh seorang sālik . Sebelum mencapai maqām ini seorang sālik tidak akan bisa mencapai maqām-maqām lainnya. Karena sebuah tujuan akhir tidak akan dapat dicapai tanpa adanya langkah awal yang benar.
Untuk mencapai maqām taubat ini, seorang sālik harus meyakini dan mempercayai bahwa irādah (kehendak) Allah meliputi segala sesuatu yang ada. Termasuk bentuk ketaatan sālik, keadaan lupa kepada-Nya, dan nafsu shahwatnya, semua atas kehendak-Nya.
Sedangkan hal yang dapat membangkitkan maqām taubat ini adalah berbaik sangka (ḥusn al-ẓan) kepada-Nya. Jika seorang sālik terjerumus dalam sebuah perbuatan dosa, hendaknya ia tidak menganggap bahwa dosanya itu sangatlah besar sehingga menyebabkan dirinya merasa putus asa untuk bisa sampai kepada-Nya.

2. Maqām Zuhd
الزهد عند ابن عطاء الله قسمان: زهد ظاهر جلي ، كالزهد في فضول الحلال من المأكولات والملبوسات وما إليها من متاع الدنيا ، وزهد باطن خفي كالزهد في الرياسة وحب الظهور وما إليها من الأمور المعنوية المتعلقة بالدنيا أيضا.
Dalam pandangan Ibn ‘Aţā’illah, zuhd ada 2 macam; Zuhd Ẓahir Jalī seperti zuhd dari perbuatan berlebih-lebihan dalam perkara ḥalal, seperti: makanan, pakaian, dan hal lain yang tergolong dalam
perhiasan duniawi. Dan Zuhd Bāţin Khafī seperti zuhd dari segala bentuk kepemimpinan, cinta penampilan zahir, dan juga berbagai hal maknawi yang terkait dengan keduniaan.
Hal yang dapat membangkitkan maqām zuhd adalah dengan merenung (ta’ammul). Jika seorang sālik benar-benar merenungkan dunia ini, maka dia akan mendapati dunia hanya sebagai tempat bagi yang selain Allah, dia akan mendapatinya hanya berisikan kesedihan dan kekeruhan. Jikalau sudah demikian, maka sālik akan zuhd terhadap dunia. Dia tidak akan terbuai dengan segala bentuk keindahan dunia yang menipu.
Maqām zuhd tidak dapat tercapai jika dalam hati sālik masih terdapat rasa cinta kepada dunia, dan rasa ḥasud kepada manusia yang diberi kenikmatan duniawi. Alangkah indahnya apa yang dikatakan oleh Ibn ‘Aţā’illah: ”Cukuplah kebodohan bagimu jika engkau ḥasud kepada mereka yang diberi kenikmatan dunia. Namun, jika hatimu sibuk dengan memikirkan kenikmatan dunia yang diberikan kepada mereka, maka engkau lebih bodoh daripada mereka.
Karena mereka hanya disibukkan dengan kenikmatan yang mereka dapatkan, sedangkan engkau disibukkan dengan apa yang tidak engkau dapatkan”.
Inti dari zuhd adalah keteguhan jiwa, yaitu tidak merasa bahagia dengan kenikmatan dunia yang didapat, dan tidak bersedih dan putus asa atas kenikmatan dunia yang tidak didapat.
Seorang sālik tidak dituntut menjadi orang yang faqir yang sama sekali tidak memiliki apa-apa. Karena ciri-ciri seorang zuhd ada dua; yaitu saat kenikmatan dunia tidak ada dan saat kenikmatan dunia itu ada. Ini dimaksudkan bahwa jika kenikmatan dunia itu didapat oleh sālik, maka dia akan menghargainya dengan bershukur dan memanfaatkan nikmat tersebut hanya karena Allah. Sebaliknya, jika nikmat sirna dari dirinya, maka dia merasa nyaman, tenang dan tidak sedih. 

3. Maqām Şabr
Ibn ‘Aţā’illah membagi şabar menjadi 3 macam; abar terhadap perkara ḥaram, şabar terhadap kewajiban, dan şabar terhadap segala perencanaan (angan-angan) dan usaha.
Şabar terhadap perkara ḥaram adalah şabar terhadap hak-hak manusia. Sedangkan şabar terhadap kewajiban adalah şabar terhadap kewajiban dan keharusan untuk menyembah kepada Allah. Segala sesuatu yang menjadi kewajiban ibadah kepada Allah akan melahirkan bentuk şabar yang ketiga yaitu şabar yang menuntut sālik untuk meninggalkan segala bentuk angan-angan kepada-Nya.
أن الصبر عن المحرمات هو الصبر عن الحظوظ البشرية ، وأن الصبر على الواجبات هو الصبر على لوازم العبودية ، وأي شيء من لوازم العبودية لله تعالى يكون أوجب على السالك من إسقاط التدبير مع الله.
Sabar atas keharaman adalah sabar atas hak-hak kemanusiaan. Dan sabar atas kewajiban adalah sabar atas kewajiban ibadah. Dan semua hal yang termasuk dalam kewajiban ibadah kepada Allah
mewajibkan pula atas salik untuk meniadakan segala angan-angannya bersama Allah.
Şabar bukanlah suatu maqām yang diperoleh melalui usaha sālik sendiri. Namun, şabar adalah suatu anugerah yang diberikan Allah kepada sālik dan orang-orang yang dipilih-Nya. Maqām şabar itu dilandasi oleh keimanan yang sempurna terhadap kepastian dan ketentuan Allah, serta menanggalkan segala bentuk perencanaan (angan-angan) dan usaha.

4. Maqām Shukur
Shukur dalam pandangan Ibn ‘Aţā’illah terbagi menjadi 3 macam; pertama shukur dengan lisan, yaitu mengungkapkan secara lisan, menceritakan nikmat yang didapat. Kedua, shukur dengan anggota tubuh, yaitu shukur yang diimplementasikan dalam bentuk ketaatan. Ketiga, shukur dengan hati, yaitu dengan mengakui bahwa hanya Allah Sang Pemberi Nikmat, segala bentuk kenikmatan yang diperoleh dari manusia semata-mata dari-Nya. Sebagaimana diungkapkan oleh Ibn ‘Aţā’illah:
وللشكر عند ابن عطاء الله ثلاثة أقسام: شكر اللسان ، وهو التحدث بالنعمة ، وشكر الأركان وهو العمل بطاعة الله ، وشكر الجنان ، وهو الاعتراف بأن الله وحده هو المنعم ، وأن كل نعمة بأحد من العباد فهي منه وحده.
 “Dalam shukur menurut Ibn ‘Aţā’illah terdapat tiga bagian; shukur lisan yaitu memberitakan kenikmatan (pada orang lain), shukur badan adalah beramal dengan ketaatan kepada Allah, dan shukur hati adalah mengakui bahwa Allah semata Sang Pemberi nikmat. Dan segala bentuk kenikmatan dari seseorang adalah semata-mata dari Allah.
Ibn ‘Aţā’illah juga menjelaskan bahwa bentuk shukur orang yang berilmu adalah dengan menjadikan ilmunya sebagai landasan untuk memberi petunjuk kepada manusia lainnya. Sedangkan bentuk shukur orang yang diberi kenikmatan kekayaan adalah dengan menyalurkan hartanya kepada mereka yang membutuhkan. Bentuk shukur orang yang diberi kenikmatan berupa jabatan dan kekuasaan adalah dengan memberikan perlindungan dan kesejahteraan terhadap orang-orang yang ada dalam kekuasaannya.
Lebih lanjut Ibn ‘Aţā’illah memaparkan bahwa shukur juga terbagi menjadi 2 bagian; shukur ẓāhir dan shukur bāţin. Shukur ẓāhir adalah melaksanakan perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya. Sedangkan shukur bāţin adalah mengakui dan meyakini bahwa segala bentuk kenikmatan hanyalah dari Allah semata.
Manfaat dari shukur adalah menjadikan anugerah kenikmatan yang didapat menjadi langgeng, dan semakin bertambah. Ibn ‘Aţā’illah memaparkan bahwa jika seorang sālik tidak menshukuri nikmat yang didapat, maka bersiap-siaplah untuk menerima sirnanya kenikmatan tersebut. Dan jika dia menshukurinya, maka rasa shukurnya akan menjadi pengikat kenikmatan tersebut. Allah berfirman:  
لإن شكرتم لأزيدنكم
(Jika kalian bershukur [atas nikmat-Ku) niscaya akan kutambah [kenikmatan itu]).
Jika seorang sālik tidak mengetahui sebuah nikmat yang diberikan Allah kepada-Nya, maka dia akan mengetahuinya ketika nikmat tersebut telah hilang. Hal inilah yang telah diperingatkan oleh Ibn ‘Aţā’illah.
Lebih lanjut Ibn ‘Aţā’illah menambahkan hendaknya seorang sālik selalu bershukur kepada Allah sehingga ketika Allah memberinya suatu kenikmatan, maka dia tidak terlena dengan kenikmatan tersebut dan menjadikan-Nya lupa kepada Sang Pemberi Nikmat.
Meskipun pada dasarnya semua kenikmatan pada hakikatnya adalah dari Allah, shukur kepada makhluk juga menjadi kewajiban seorang sālik. Dia harus bershukur terhadap apa yang telah diberikan orang lain kepadanya, karena hal ini adalah suatu tuntutan shari‘at, seraya mengakui dan meyakini dalam hati bahwa segala bentuk kenikmatan tersebut adalah dari Allah.
Pengejawantahan shukur tetap harus dilandasi dengan menanggalkan segala bentuk angan-angan dan keinginan. Akal adalah kenikmatan paling agung yang diberikan Allah kepada manusia. Karena akal inilah manusia menjadi berbeda dari sekalian makhluk. Namun, dengan kelebihan akal ini pula manusia memiliki potensi untuk bermaksiat kepada Allah. Dengan akal ini manusia dapat berpikir, berangan-angan, dan berkehendak. Sehingga manusia memiliki potensi untuk mengangan-angankan dan menginginkan suatu bentuk kenikmatan yang akan diberikan oleh Allah. Hal inilah yang harus ditiadakan dalam pengejawantahan shukur.

5. Maqām Khauf dan Maqām Rajā’
Seorang sālik dapat mencapai derajat maqām khauf apabila dia merasa takut atas sirnanya ḥal dan maqāmnya, karena dia tahu bahwa Allah memiliki kepastian hukum dan kehendak yang tidak dapat dicegah. Ketika Allah berkehendak untuk mencabut suatu maqām dan ḥal yang ada pada diri sālik, seketika itu juga Allah akan mencabutnya.
شهود هذا المعنى يوجب للعبد مقام الخوف والتحقق فيه ، فإذا كان ذا قول سديد وحال حميد لم يقطع ببقاء ذلك ، ولم يغتر بما هنالك لنفوذ حكم الحق تعالى وقهر مشيئته
Bukti dari makna ini mengharuskan maqām khauf bagi seorang hamba terwujud, ketika dia memiliki ucapan yang baik dan perilaku yang terpuji maka dia tak akan terputus maqām khauf ini, serta dia tidak terpedaya dengan urusan duniawi, karena hukum kepastian dan kehendak Allah terwujud.
Khauf seorang sālik bukanlah sekedar rasa takut semata. Khauf pasti diiringi dengan rajā’ (harapan) kepada Allah, karena khauf adalah pembangkit dari rajā’. Maqām khauf adalah maqām yang membangkitkan maqām rajā’. Rajā’ tidak akan ada jika khauf tidak ada.
Ibn ‘Atā’illah menyatakan bahwa jika sālik ingin agar dibuka baginya pintu rajā’ maka hendaknya dia melihat apa yang diberikan Allah kepadanya berupa anugerah maqām, ḥal dan berbagai kenikmatan yang dia terima. Jika dia ingin agar terbuka baginya pintu khauf, maka hendaknya dia melihat apa yang dia berikan kepada-Nya berupa peribadatan dan ketaatan penuh pada-Nya. Sebagaimana diutarakan oleh Ibn ‘Atā’illah:
إذا أردت أن يفتح لك باب الرجاء فاشهد ما منه إليك ، وإذا أردت أن يفتح لك باب الخوف فاشهد ما منك إليه.
Jika engkau ingin agar Allah membukakan bagimu pintu rajā’, maka lihatlah segala sesuatu yang diberikan Allah kepadamu. Dan jika engkau ingin agar Allah membukakan bagimu pintu khauf, maka lihatlah apa yang telah kau berikan kepada-Nya.
Rajā’ bukan semata-mata berharap, rajā’ harus disertai dengan perbuatan. Jika rajā’ hanya berupa harapan tanpa perbuatan, maka tidak lain itu hanyalah sebuah angan-angan atau impian belaka. Dengan demikian wajib bagi seorang sālik untuk menyertakan rajā’nya dengan amal kepatuhan, dan peribadatan yang dapat mendekatkan dirinya kepada Allah secara kontinu.
Jika rajā’ sudah ada dalam diri sālik, maka rajā’ ini akan semakin menguatkan khauf yang ada pada dirinya. Karena suatu harapan, pasti akan disertai dengan rasa takut akan sesuatu, sehingga dapat dinyatakan bahwa khauf akan melahirkan rajā’, dan rajā’ akan menjadi penguat khauf.

6. Maqām Riḍa dan Tawakkal
Riḍa dalam pandangan Ibn ‘Aţā’illah adalah penerimaan secara total terhadap ketentuan dan kepastian Allah. Hal ini didasarkan pada QS. al-Mā’idah ayat 119: رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ وَرَضُوْا عَنْهُ (Allah riḍa terhadap mereka, dan mereka riḍa kepada Allah), dan juga sabda Rasulullah SAW.: ذَاقُ طَعْمِ الإِيْمَانِ مَنْ
رَضِيَ بِاللهِ
(Orang yang merasakan [manisnya] iman adalah orang yang riḍa kepada Allah).
Maqām riḍa bukanlah maqām yang diperoleh atas usaha sālik sendiri. Akan tetapi riḍa adalah anugerah yang diberikan Allah.
Jika maqām riḍa sudah ada dalam diri sālik, maka sudah pasti maqām tawakkal juga akan terwujud. Oleh karena itu, ada hubungan yang erat antara maqām riḍa dan maqām tawakkal. Orang yang riḍa terhadap ketentuan dan kepastian Allah, dia akan menjadikan Allah sebagai penuntun dalam segala urusannya, dia akan berpegang teguh kepada-Nya, dan yakin bahwa Dia akan menentukan yang terbaik bagi dirinya.
Maqām tawakkal akan membangkitkan kepercayaan yang sempurna bahwa segala sesuatu ada dalam kekuasaan Allah. Sebagaimana termaktub dalam QS. Hūd ayat 123: وَإِلَيْهِ يُرْجَعُ اْلأَمْرُ كُلُّهُ فَاعْبُدْهُ وَتَوَكَّلْ عَلَيْهِ (…kepada-Nya lah segala urusan dikembalikan, maka sembahlah Dia, dan bertawakkallah kepada-Nya).
Sebagaimana maqām-maqām lainnya, maqām riḍa dan tawakkal tidak akan benar jika tanpa menanggalkan angan-angan. Ibn ‘Aţā’illah menyatakan bahwa angan-angan itu bertentangan dengan tawakkal, karena barangsiapa telah berpasrah kepada Allah, dia akan menjadikan Allah sebagai penuntunnya, dia akan berpegang teguh kepada-Nya atas segala urusannya, dan jika sudah demikian tiadalah bagi dirinya segala bentuk angan-angan.
ويناقض (التدبير) أيضا مقام التوكل ، وذلك لأن المتوكل على الله من ألقي قياده إليه ، واعتمد في كل أموره عليه ، فمن لازم ذلك عدم التدبير، والاستسلام لجريان المقادير. وتعلق إسقاط التدبير بمقام التوكل والرضا أبين من تعلقه بسائر المقامات….ويناقض (التدبير) أيضا مقام الرضا ، وهو بين لاإشكال فيه ، وذلك لأن الراضي قد اكتفى بسابق تدبير الله فيه ، فكيف يكون مدبرا معه ، وهو قد رضي بتدبيره ؟ ألم تعلم أن نور الرضا يغسل من القلوب غثاء التدبير ، فالراضى عن الله بسطه نور الرضا بأحكامه ، فليس له تدبير مع الله….
Perencanaan (tadbīr) juga bertentangan dengan maqam tawakkal karena seorang yang bertawakkal kepada Allah adalah orang yang menyerahkan kendali dirinya kepada-Nya, dan berpegang teguh kepada-Nya atas segala urusannya. Barangsiapa telah menetapi semua hal tersebut, maka tiada lagi perencanaan baginya, dan dia berpasrah terhadap perjalanan takdir. Peniadaan perencanaan (isqaţ tadbīr) juga terkait dengan maqām tawakkal dan riḍa, hal ini jelas, karena seorang yang riḍa maka cukup baginya perencanaan Allah atasnya. Maka bagaimana mungkin dia menjadi perencana bersama Allah, sedangkan dia telah rela dengan perencanan-Nya. Apakah engkau tidak tahu bahwa cahaya riḍa telah membasuh hati dengan curahan perencanan-Nya. Dengan demikian, orang yang
riḍa terhadap Allah telah dianugrahkan baginya cahaya riḍa atas keputusan-Nya, maka tiada lagi baginya perencanaan bersama Allah…
Hikmah riḍa kepada qaḍā’ dan qadar, antara lain dapat menghilangkan keruwetan dan kesusahan. Musibah yang diperoleh seseorang, jika dihadapi/dengan pikiran yang lapang dan dengan bekerja yang sungguh-sungguh di sanalah seseorang akan mendapatkan jalan dan petunjuk yang lebih berguna, daripada dihadapi dengan meratapi kesusahan-kesusahan itu, yang tidak ada berkesudahan.
Dasar riḍa akan qaḍā’ dan qadar, ialah firman Allah dalam al-Qur’an:
Orang-orang (yang mu’min) jika mereka mendapat sesuatu bencana berkatalah mereka “Bahwasanya kami ini kepunyaan Allah, dan kami (semua) pasti kembali lagi kepada-Nya.” (QS. 2, al-Baqarah: 156)
Jika seseorang ditimpa bencana hendaklah dia riḍa, hatinya tidak boleh mendongkol. Riḍa dengan qaḍā’ ialah menerima segala kejadian yang menimpa diri seseorang, dengan rasa senang hati dan lapang dada.Meriḍai qaḍā’ dan qadar, karena ditimpa bencana atau menderita sesuatu, sangat disukai oleh agama. Tetapi sekali-kali tiada dibenarkan seseorang meriḍai kekufuran dan kemaksiatan.
Riḍa dengan taqdir Allah adalah suatu perangai yang terpuji dan mulia serta membiasakan jiwa menyerahkan diri atas keputusan Allah, juga dapat mendapatkan hiburan yang sempurna di kala menderita segala bencana. Dialah obat yang sangat mujarab untuk menolak penyakit gelap mata hati. Dengan riḍa atas segala ketetapan Allah, hidup seseorang menjadi tenteram dan tidak gelisah.
Seseorang wajib berkeyakinan, bahwa bencana yang menimpa seseorang, adakalanya juga merupakan cobaan bagi seorang hamba, untuk lebih suka mengoreksi segala amal perbuatan pada masa-masa yang lampau, agar eseorang dapat mengubah dan memperbaiki jejak langkah dan perbuatannya pada masa-masa yang akan datang.
Menyerah kepada qaḍā’illah (keputusan takdir) Allah termasuk tidak boleh mengandai-andaikan, misalnya andaikan tadinya dia tidak ikut rombongan ini, barangkali dia tidak termasuk korban kecelakaan ini, sebagaimana firman Allah SWT.:
Hai orang yang beriman, janganlah kamu seperti orang-orang kafir, yang berkata kepada saudara-saudara mereka tatkala mereka bepergian di bumi, atau sedang bertempur : Sekiranya bersama-sama kami, niscaya mereka tidak akan mati, dan tidak akan terbunuh. Yang demikian karena Allah hendak jadikan yang tersebut itu duka cita di hati-hati mereka dan Allah rnenghidupkan dan mematikan, dan Allah Maha melihat akan apa yang engkau kerjakan.” (QS. 3, Ali ‘Imran: 156)

7. Maqām Maḥabbah
Imam al-Ghazālī berpendapat bahwa maqām maḥabbah adalah maqām tertinggi dari sekian maqām-maqām dalam tarekat. Dia menggambarkan bahwa maḥabbah adalah tujuan utama dari semua maqām.
Namun, Ibn ‘Aţā’illah memiliki pandangan yang berbeda tentang konsep maḥabbah bahwa dalam maḥabbah seorang sālik harus menanggalkan segala angan-angannya (إسقاط التدبير والإرادة). Dia berpendapat demikian karena alasan bahwa sālik yang telah sampai pada maḥabbah (cinta) bisa jadi dia masih mengharapkan balasan atas cintanya kepada yang dicintainya. Dari sini tampak bahwa rasa cinta sālik didasarkan atas kehendak dirinya untuk mendapatkan balasan cinta sebagaimana cintanya. Karena pecinta sejati adalah orang yang rela mengorbankan segala yang ada pada dirinya demi yang dicintainya, dan tidak mengharapkan imbalan apapun dari yang dicintainya, yang dalam konteks ini adalah Allah SWT.
….المحبة لله هي الغاية القصوى من المقامات ، والذروة العليا من الدرجات ، فما بعد إدراك المحبة مقام إلا وهو ثمرة من ثمارها ، وتابع من توابعها ، كالشوق والأنس والرضا وأخواتها ، ولا قبل المحبة مقام إلا وهو مقدمة من مقدماتها ، كالتوبة والصبر والزهد وغيرها….
…maḥabbah (cinta) kepada Allah adalah tujuan luhur dari seluruh maqām, titik puncak dari seluruh derajat. Tiada lagi maqām setelah mahabbah, karena maḥabbah adalah hasil dari seluruh maqām, menjadi akibat dari seluruh maqām, seperti rindu, senang, riḍa dan lain sebagainya. Dan tiadalah maqām sebelum maḥabbah kecuali hanya menjadi permulaan dari seluruh permulaan maqām, seperti taubat, sabar, zuhd dan lain sebagainya…”